Entri yang Diunggulkan

Faedah ke satu

  Ngomongin soal wasiat, aku malah kepikiran wasiat Pendekar wanita cantik dalam film "The Kungfu Cult Master" dari Sekte Ming yan...

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 18 Januari 2024

Pesan buat adhee...

 Pesan buat Dhe

_________________________________________

Memasuki akhir januari tahun ini. Sentuhan udara masih begitu menyengat, panas, meski beberapa kali rintik hujan sudah mulai turun membasahi permukaan bumi. Hujan yang mungkin saja dinanti oleh sebagian orang, tetapi belum tentu bagi sebagian yang lain.

Tidak perlu bertanya tentangnya, sebab, alam memiliki cara dan kemauan sendiri atas apa yang hendak dilakukan. Alam, bisa jadi sudah terlalu lelah jika harus terus-menerus menekuk lutut, tunduk dan patuh pada hasrat-ambisi setiap orang.

Namun, buatmu! Aku akan berusaha agar tetap tegar, berdiri kokoh di ujung paling depan setiap kali engkau memerlukan. 

Seperti waktu itu, Dhe...

Kini, hanya karena sikap dia yang berada di luar dugaan, engkau menjadi begitu sulit untuk memaafkannya. Lalu, mengira bahwa pilihan itu adalah paling bijak dan benar.

Engkau, sama sekali tidak ingin memberi kesempatan dan membuka hati untuk menerima cintanya lagi. Engkau, teramat sangat membencinya.

Dhe, dengarkan dan ketahuilah! Cobalah sedikit saja untuk kembali mau mengerti, bahwa setiap orang memiliki kisah juga pengalaman hidup yang berbeda. Bukan hanya dia, tetapi juga engkau, aku, ataupun mereka-mereka yang ada di sana. Suatu perbedaan yang tidak seharusnya melahirkan kebencian, melainkan kedewasaan cinta.

"Aku sungguh-sungguh tidak mengira bahwa dia akan berbuat seperti itu kepadaku, Kak!"

Dhe, mengenai hal ini. Apa engkau pernah tahu bahwa perbuatan yang telah dilakukannya itu adalah murni kesalahan dia?

Sementara yang kumengerti, besarnya rasa cinta yang dia miliki terhadapmu melebihi cinta kepada dirinya sendiri.

Selain yang dilakukannya adalah sandiwara, dia tidak ingin engkau sampai tahu dan mengerti apa yang sebenarnya sedang dia alami. Sebuah kenyataan pahit yang dia sendiri tidak pernah menduganya. Bahkan, dia sendiri meragukan bakal mampu berjuang untuk keluar dari kenyataan itu.

Dan ...

Lima tahun sudah berlalu. Dia berhasil berjuang. Senyumnya pun masih sama seperti dahulu, penuh cinta. Tidak terkecuali kepadamu.

Dhe, haruskah engkau tetap dan selalu akan membenci dirinya untuk selama-lamanya?


Lukisan Senja

 DIBALIK LUKISAN SENJA

Melihatmu, mengingatkanku pada seekor kucing putih yang terlindas tebalnya ban truk bermuatan penuh biji baja, di atas aspal hitam jalan raya, di bawah panas terik matahari, siang itu. Remuk dan hancur! Berserakan semua bagian tubuh dan tak ada lagi detak jantung yang sempat berdenyut, darinya.

Ya, sisi liarmu telah mati. Meninggalkan desah yang terlampau berat untuk bisa dinikmati. Olehmu. Oleh kita.

Tatap matamu melemah! Tak lagi mampu mengikuti lincah gesit tupai-tupai betina yang sedang berlari, bermain di ranting-ranting kering.

Dan, kini, kedua lenganmu hanya kuat untuk mengangkat secangkir air bening ketika dirimu merasa haus--itu pun dengan gemetaran. Bukan lagi lengan untuk mengangkat atau melingkari tubuh-tubuh beraroma wangi, seperti kesukaanmu kala-kala itu.

Adakah sesal membayang di bilik-bilik kepala, atau ruang-ruang hatimu?

Entahlah!

Yang kutahu mulutmu tetap membisu. Mendiamkan semua kenang yang bisa jadi takkan pernah berhenti menghampiri.

Kenang, yang bisa saja akan menjelma sesuai gambaran hidupmu. Menakutkan; mengerikan; atau justru terlalu indah hingga tak mungkin dirimu tertatih untuk mengkhawatirkannya. Kini, dan nanti.

* * *

"Le, mbesok yen wes gede ojo niru wong kae! Uripe mesakne."

Usai melihat wajah ayu ibunya, Roy menoleh ke arah lukisan wajah seorang pria yang tergantung di dinding rumah.

Tidak ada pertanyaan yang hinggap di dalam diri Roy, tetang lukisan wajah seorang pria itu.

Sebelum Roy menanggapi ucapan dari perempuan yang telah membesarkannya selama lebih dari tujuh tahun. Ciuman mendarat di pipi kirinya.

"Sing sabar yo, le. Urip karo mbokmu iki."

Roy pun mengangguk. Lalu memeluk tubuh ibunya.

Mereka pun kemudian makan singkong rebus yang masih mengepul asapnya, di temani sinar mentari pagi yang juga tidak kalah hangat--menyelinap masuk melalui jendela yang begitu lebar terbuka.

Banyak hal yang belum dimengerti oleh Roy. Tentang ibunya, ayahnya, juga lukisan wajah seorang pria yang entah sudah berapa lama tergantung di dinding rumah. Lebih-lebih, mengerti tentang bagaimana menata hidupnya di masa depan.

* * *

"Sudahlah. Yang sudah terjadi memang sudah semestinya terjadi."

Usai mendengar teman kuliahnya bicara, Roy bangkit dari duduknya. Kemudian ia dengan berat hati berjalan menuju mobil, meninggalkan batu nisan yang baru saja tertanam--bertuliskan nama ibunya.

Sambil berjalan, Roy berusaha mengerti ucapan yang baru saja didengar dari bibir temannya.

Tetesan air mata yang dari tadi tidak mampu ia bendung hingga membasahi kedua pipi, diusapnya perlahan-lahan dan beberapa kali. Sebelum akhirnya benar-benar mengering dan menghilang.

Dalam hati, Roy berkata; 'Ya, aku berjanji. Suatu saat nanti aku akan selalu dan bisa menyayangimu seutuhnya. Bukan rasa sayang yang sama seperti halnya yang telah dilakukan oleh pria yang ada dibalik lukisan wajah itu, kepada ibuku.'

Roy mencuri pandang pada wajah cantik yang sedang duduk di sampingnya. Wanita yang sampai hari ini masih ia anggap sebagai teman.

Wanita itu pun tersenyum kepada Roy. Lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah mana laju mobil membawa mereka berdua. Menjauhi Tempat Pemakaman yang sepi. 



Di bawah pohon sawo

Catatan di bawah pohon Sawo

Berseragam sekolah, pemuda itu dengan pelan mengayuh sepeda peninggalan ayahnya menuju tempat di mana ia hendak belajar. Meski sudah berkarat dan terlihat sangat usang ia sama sekali tidak mempedulikannya. Malu dengan apa yang ia punyai, baginya, akan menjadi penghalang pertama sebelum melangkah menuju cita-cita.

Yang dipedulikan oleh pemuda itu hanya ada satu. Bagaimana cara agar bisa melanjutkan sekolah di jenjang yang lebih tinggi meski tanpa biaya dari orangtua.

"Uihh, senyumnya!"

Mendengar seruan itu, seperti biasa, ia tetap tenang dan terus mengayuh sepeda tuanya melintasi gadis-gadis berjilbab yang berjalan berbarengan menuju arah yang sama. Sebelum akhirnya sampai di depan pintu gerbang dan masuk berdesakkan menuju halaman sekolah.

"Ayo! Cepat!"

Beberapa detik kemudian pintu gerbang sekolah pun ditutup oleh si Penjaga.

Pemuda itu membelokkan sepedanya ke arah timur. Kemudian menyandarkannya tepat di teras samping kiri kelasnya.

"Yan, kamu udah hafal?"

Pemuda itu hanya tersenyum. Satu pertanyaan dari teman sekelasnya itu tidak lantas membuat dirinya bingung.

"Lihat aja entar."

Begitulah! Pemuda itu setiap detiknya selalu menampakkan ketenangan dirinya, seolah tidak pernah menanggung beban sama sekali. Senyum yang menghias rapi bersama gigi-gigi putihnya juga tidak pernah berhenti ia suguhkan di depan semua teman-temannya.

"Hellehh! Entar juga senyum-senyum berdiri di depan kelas." Laila berucap sambil tertawa, mengejek pemuda itu, kemudian diikuti oleh teman-teman lainnya.

"Eh, Pak Qomar udah datang!"

Kholid tiba-tiba masuk kelas dan segera meletakkan satu buku yang tadi ia bawa di atas mejanya. Kemudian diikuti oleh Mufid.

Pak Qomar pun masuk kelas dan duduk di meja depan. Usai mengucapkan salam, ia bertanya, "Gimana, udah hafal semua?"

Untuk sesaat semua penghuni kelas terdiam.

"Mufid?"

"Udah, Pak."

"Jihad?"

"Sepertinya udah, Pak."

"Laila?"

"Saya udah siap, Pak."

"Udah siap apa, kamu itu, Laaa? Yang jelas doong!" Pemuda itu menyela.

Sepontan, suara cekikikan dari penghuni kelas lepas satu persatu. 

"Semua, diam!"

Setelah berteriak, kedua mata Pak Qomar melotot ke arah pemuda itu.

"Kamu, Biyant! Apa udah hafal?"

"Biyant udah siap kok, Pak!" Sontak, semua teman pemuda itu menjawab bersamaan dengan jawaban yang sama kepada Pak Qomar. Seperti halnya sedang latihan paduan suara. Begitu kompaknya.

Sedangkan pemuda itu hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Mungkin ada kutu yang menari-nari di sela-sela rambut klimisnya.



Selasa, 02 Juli 2019

Jembatan Cangar


Jalur Cangar tak asing lagi bagi para pengguna jalan Malang-Surabaya, atau Batu-Mojokerto dan sebaliknya. Lewat jalur ini, kedua daerah tersebut akan lebih dekat ketimbang melewati jalur besar, belum lagi jika macet. T api, jalur tersebut sangat ekstrim. Tanjakan dan turunan curam, disertai belokan ekstrim akan menyambut para pengguna jalur Cangar ini. ini memang berada di pegunungan, maka tak heran sepanjang jalur ini akan ada hutan dan jurang di kanan dan kiri. Jika menjelang petang, jalur ini akan diselimuti kabut tebal.
Selain ekstrim, jalur ini terkenal dengan keangkerannya. Beberapa pengendara mengaku sering melihat sosok genderuwo yang berdiri di tepi jalan.
Bahkan, cerita tentang hantu sebagai penunjuk jalan pun merebak di kalangan masyarakat. Dalam hal ini bukan menunjukkan jalan agar lebih cepat tiba di tujuan, tapi justru lebih cepat menghadap ke yang Maha Kuasa. Amit-amit ya otolovers.
Konon, saat menjelang petang, makhluk-makhluk gaib penghuni jalur Cangar ini pun mulai beraksi. Jalan yang seharusnya berbelok, akan dibuatnya lurus dan terang. Sehingga pengguna jalan akan tertipu mengikutinya dan terjun bebas ke jurang.
Terlebih setelah melewati sebuah jembatan yang membelah lembah Berantas. Jembatan itu terkenal sangat angker. Banyak pengguna jalan yang akhirnya terlibat kecelakaan di jembatan Cangar.
Masyarakat sekitar kerap menghubungkan keduanya, antara kecelakaan dan gangguan makhluk gaib. Entah benar atau tidak. Tapi banyak yang menyarankan bahwa pengemudi harus memiliki pikiran yang bersih untuk melewati jalur ini agar terhindar dari marabahaya.

Selasa, 12 Maret 2019

Menempelkan kaki di shof sholat

Menyempurnakan barisan shaf shalat merupakan salah satu hal yang menjadikan shalat jama’ah menjadi lebih utama. Jika barisan shaf shalat tidak teratur, maka akan berpengaruh terhadap fadhilah jama’ah bagi para makmum yang mengikuti jamaah, sebab barisan shaf yang tidak teratur merupakan salah satu kemakruhan dalam shalat jama’ah yang menyebabkan fadhilah jamaah menjadi hilang menurut Imam Ibnu Hajar (Lihat Syekh Husein Abdullah, Itsmidul ‘Ainain, halaman 33).

Dalam praktiknya, sebagian masyarakat ada yang berpandangan bahwa menyempurnakan shaf ini adalah dengan cara menempelkan kaki kita pada kaki orang lain yang ada di sebelah kita, hal yang sama juga berlaku bagi makmum-makmum yang lain.

Selain kaki, bahu dan lutut juga harus ditempelkan dengan bahu dan lutut orang yang ada di samping kita. Jika ketentuan demikian tidak dipenuhi, maka dianggap menyalahi perintah Rasulullah dalam hal pengaturan shaf. Sebenarnya, benarkah pandangan demikian?

Memang dalam salah satu hadits dijelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat agar merapatkan shaf, lalu para sahabat saling merapatkan barisan shafnya dengan cara menempelkan telapak kaki dan bahu mereka dengan bahu dan telapak kaki orang lain yang ada di sampingnya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat Sahabat Anas bin Malik:

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Artinya, “Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, ‘Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku,’ (Sahabat Anas berkata) ‘Ada di antara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan menempelkan telapak kakinya dengan telapak kaki temannya,’” (HR Bukhari).

Hadits di atas tidak dapat dipahami secara literal sehingga menyimpulkan bahwa menempelkan kaki dan bahu adalah suatu kewajiban dalam shalat. Pemahaman demikian tidak dibenarkan, sebab hal tersebut sebenarnya hanya dilaksanakan oleh sebagian sahabat nabi saja, tidak secara keseluruhan.

Dengan berdasarkan redaksi “Ada di antara kami” (Wa kana ahaduna) yang terdapat dalam teks matan hadits di atas. Sedangkan segala hal tentang sahabat, hanya dapat dijadikan hujjah ketika memang  dilakukan oleh sahabat secara keseluruhan, bukan sebagian. Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam Kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam:

ويدل على مذهب الاكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج، وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع، لان فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر، ولا على غيرهم

Artinya, “Menurut pendapat mayoritas madzhab bahwa hal yang tampak dari para sahabat memang disampaikan dalam kasus penyampaian hujjah, namun dari hal tersebut yang dapat dijadikan hujjah hanya ketika memang apa yang mereka nukil disandarkan pada perbuatan seluruh sahabat. Sebab perbuatan sebagian sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atas sebagian sahabat yang lain dan juga tidak menjadi hujjah bagi selain sahabat,” (Lihat Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, juz II, halaman 110).

Dengan demikian kewajiban menempelkan telapak kaki dan bahu satu sama lain, dengan berdasarkan hadits di atas tidak bisa dibenarkan, sebab konteks hadits di atas hanya menjelaskan tentang keutamaan merapatkan shaf dengan cara seperti yang dilakukan para sahabat di atas, bukan tata cara yang diwajibkan bagi para makmum yang hendak melaksanakan shalat jamaah.

Lebih jauh lagi, dalam Aunul Ma’buddijelaskan bahwa merapatkan shaf dengan cara seperti di hadits adalah hal yang sangat dianjurkan, namun jika praktek tersebut dilaksanakan pada masa kini, maka orang-orang akan lari, karena praktik pemerataan shaf dengan cara tersebut sudah jarang dilakukan sehingga ketika hal tersebut dilakukan, maka orang-orang akan lari karena dianggap melakukan sesuatu yang aneh. Berikut redaksi tersebut:

فهذه الأحاديث فيها دلالة واضحة على اهتمام تسوية الصفوف وأنها من إتمام الصلاة وعلى أنه لا يتأخر بعض على بعض ولا يتقدم بعضه على بعض وعلى أنه يلزق منكبه بمنكب صاحبه وقدمه بقدمه وركبته بركبته لكن اليوم تركت هذه السنة ولو فعلت اليوم لنفر الناس كالحمر الوحشية

Artinya, “Hadits-Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang pentingnya meratakan shaf yang merupakan sebagian hal yang menyempurnakan shalat. Tidak diperkenankan untuk mundur satu sama lain dan maju satu sama lain serta menempelkan pundak, telapak kaki dan lutut satu sama lain. Tetapi kesunnahan seperti ini sudah ditinggalkan pada masa ini, jika ketentuan demikian dilakukan hari ini maka manusia akan lari seperti halnya keledai liar,” (Muhammad Syamsul Haq, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, juz II, halaman 256).

Ma’mar, salah satu rawi dari hadits diatas menjelaskan hal yang sama bahwa jika praktik merapatkan shaf seperti di atas dilakukan di masa kini, maka orang-orang akan lari:

وزاد معمر في روايته ولو فعلت ذلك بأحدهم اليوم لنفر كأنه بغل شموص

Artinya, “Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya ‘Jika aku melakukan hal tersebut dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas,’” (Lihat Badruddin Al-‘Aini,Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, juz VI, halaman 478).

Dari berbagai kritik di atas dapat dipahami bahwa dalam mengamalkan suatu kesunnahan, perlu menyelaraskan antara perintah syara’ dan keadaan masyarakat sekitar. Sebab jika hal tersebut tidak dilakukan, akan banyak masyarakat yang salah paham karena cara tersebut masih belum umum diamalkan oleh masyarakat sekitar. Padahal syara’ menganjurkan untuk beradaptasi dengan masyarakat selama bukan dalam hal yang menyalahi aturan syariat (Muwafaqatun nas ma lam yukhalif syar’an).

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa menempelkan kaki ke orang lain dalam shalat jamaah bukanlah suatu kewajiban, namun sebatas anjuran dalam hal menyempurnakan barisan shaf.

Sebaliknya, jika melaksanakan hal ini justru akan membuat para jamaah yang lain enggan mendekatinya, karena dianggap terlalu fanatik dalam beragama misalnya, maka baiknya merapatkan shaf dilakukan dengan cara yang lain sekiranya dapat diterima oleh masyarakat sekitar dan barisan shaf tetap dipandang rapi dan baik, dengan begitu ia dapat menjalankan anjuran syara’ sekaligus bersikap husnul khuluq pada masyarakat. Wallahu a’lam.

Kamis, 07 Maret 2019

Jumah mubarok

Hari Jumat adalah hari spesial bagi umat Islam. Jumat adalah hari raya mingguan bagi mereka. Hari di mana Nabi Adam AS diciptakan dan dicabut nyawanya, terompet Malaikat Israfil ditiupkan, berakhirnya kehidupan manusia di dunia dan beberapa peristiwa besar lainnya yang terjadi di hari Jumat.

Hari Jumat adalah waktu yang tepat untuk memperbanyak shalat, zikir, shalawat, dan ibadah lainnya. Bahkan di hari itu, pengajian-pengajian para kiai dan ulama diliburkan sebagaimana yang telah mentradisi sejak dulu dengan tujuan untuk memfokuskan diri beribadah di hari tersebut.

Di antara hal yang sangat dianjurkan dilakukan di hari Jumat adalah memperbanyak doa baik di malam harinya ataupun di waktu siangnya. Sebagaimana dijelaskan banyak hadits Nabi, terdapat satu waktu di antara satu kali 24 jam di hari Jumat yang sangat manjur untuk dibuat berdoa.

Ulama mengisitilahkan waktu tersebut dengan “Sa’atul Ijabah” (waktu terkabulnya doa). Barangsiapa berdoa di waktu tersebut, maka segala permintaannya akan terkabul.

Dalam hadits riwayat Al-Bukhari disebutkan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ فِيهِ سَاعَةٌ لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا

Artinya, “Dari Sahabat Abi Hurairah RA, sungguh Rasulullah SAW menyebut hari Jumat kemudian berkomentar perihal Jumat, ‘Pada hari itu terdapat waktu yang tidaklah seorang Muslim menemuinya dalam keadaan beribadah seraya ia meminta kepada Allah sesuatu hajat, kecuali Allah mengabulkan permintaannya.’ Rasulullah memberi isyarat dengan tangannya bahwa waktu tersebut sangat sebentar,” (HR Al-Bukhari).

Tidak ada keterangan hadits Nabi yang secara tegas menjelaskan penentuan waktu ijabah tersebut, bahkan beberapa di antaranya saling berlawanan. Karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai penentuan waktunya.

Menurut mayoritas ulama madzhab Syafi’i, waktu ijabah yang paling diharapkan adalah waktu di antara duduknya khatib di atas mimbar sebelum ia berkhutbah dan salamnya Imam jamaah shalat Jumat.

Pendapat tersebut bertendensi kepada hadits riwayat Imam Muslim dan Imam Abi Dawud sebagai berikut.

عَنْ أَبِي مُوْسَى اَلْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ لِيْ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ أَسَمِعْتَ أَبَاكَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ شَأْنِ سَاعَةِ الْإِجَابَةِ؟ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ سَمِعُتُهُ يَقُوْلُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ

Artinya, “Dari Abi Musa Al-Asy’ari, ia berkata, ‘Abdullah bin Umar berkata kepadaku, ‘Apakah kau pernah mendengar ayahmu bercerita dari Rasulullah Saw tentang waktu ijabah?’ Aku menjawab, ‘iya.’ Aku pernah mendengar ayahku mendengar dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, ‘Waktu ijabah adalah waktu di antara duduknya imam sampai selesainya shalat Jumat,’” (HR Muslim dan Abi Dawud).

Mengenai rentang waktu sebagaimana diterangkan hadits tersebut, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan.

وَالْمُرَادُ أَنَّهَا لَا تَخْرُجُ عَنْ هَذَا الْوَقْتِ لَا أَنَّهَا مُسْتَغْرِقَةٌ لَهُ لِأَنَّهَا لَحْظَةٌ لَطِيْفَةٌ

Artinya, “Yang dimaksud adalah bahwa waktu ijabah tersebut tidak keluar dari rentang waktu ini, bukan keseluruhan rentang waktu tersebut, karena waktu ijabah sangat singkat sekali,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim, Hamisy Hasyiyah At-Tarmasi, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz 4, halaman 345).

Pertanyaannya kemudian, bukankah saat khutbah berlangsung dianjurkan untuk diam dari bicara? Bukankah sibuk berdoa justru bertentangan dengan anjuran mendengarkan khutbah secara seksama?

Syekh Jalaluddin Al-Bulqini sebagaimana dikutip Syekh Mahfuzh At-Tarmasi menjawab sebagai berikut.

وَسُئِلَ الْبُلْقِيْنِيُّ كَيْفَ يُسْتَحَبُّ الدُّعَاءُ فِيْ حَالِ الْخُطْبَةِ وَهُوَ مَأْمُوْرٌ بِالْإِنْصَاتِ؟ فَأَجَابَ بِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ شَرْطِ الدُّعَاءِ اّلتَّلَفُّظُ بَلِ اسْتِحْضَارُ ذَلِكَ بِقَلْبِهِ كَافٍ فِيْ ذَلِكَ

Artinya, “Imam Al-Bulqini ditanya. ‘Bagaimana mungkin jamaah Jumat disunahkan berdoa saat berlangsungnya khutbah sementara ia diperintahkan diam?’ Ia menjawab, ‘Doa tidak disyaratkan untuk diucapkan. Menghadirkan doa di dalam hati saat khutbah berlangsung sudah cukup,’” (Lihat Syekh Mahfuzh Termas, Hasyiyah At-Tarmasi ‘alal Minhajil Qawim, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz 4, halaman 344).

Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa cara berdoa saat khutbah berlangsung adalah dengan dibaca dalam hati, tidak perlu diucapkan dengan lisan.

Demikianlah penjelasan mengenai waktu yang paling ampuh untuk berdoa di hari Jumat. Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini tidak bisa dihindarkan. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan waktu ijabah terjadi. Oleh karena itu, sebaiknya selama hari Jumat berlangsung kita dianjurkan untuk senantiasa memperbanyak doa dan ibadah serta melepas urusan-urusan duniawi, dengan harapan dapat menjumpai waktu ijabah yang sangat sebentar tersebut.Wallahu a'lam. 

GP Ansor harus memahami esensi khittah.

Warga nahdliyyin diharapkan memahami Khittah NU 1926 dan mengajak pemuda agar tetap garis haluan Nahdhatul Ulama' mengingat banyak kelompok yang menyerang NU. dan tidak melewatkan  Pemilu begitu saja, apalagi sampai golput. Sebab Pemilu merupakan proses politik untuk mewadahi suara rakyat dalam pembangunan bangsa.

Demikian diungkapkan Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda PC GP Ansor, Kabupaten Lamongan Jawa Timur, Muhammad Masyhur saat Konfercab dengan Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ansor Sarirejo,.

Menurutnya, rakyat harus  menyambut gembira digelarnya Pemilu dengan memberikan suaranya di TPS. Dengan demikian, berarti dia telah ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa lewat calon anggota legislatif  dan presiden terpilih.

“Jadi aspirasi kita dititipkan kepada Caleg dan presiden yang kita pilih,” tukasnya.
Ia menyayangkan adanya  anggapan bahwa Pemilu tidak ada gunanya  kecuali hanya menghambur-hamburkan anggaran dan sebagainya. Padahal Pemilu adalah pesta demokrasi sekalgus proses politik untuk membangun bangsa yang diwakilkan kepada anggota parlemen. Karena itu, sebelum menetukan pilhan, harus dilihat dulu rekam jejak Caleg yang bakal dipilih. 

“Pemilu buklan sekedar  mencoblos kertas suara, tapi juga upaya membangun bangsa melalui Caleg dan presiden yang dipilh,” jelasnya.

Namun di atas semua itu, Masyhur berharap agar masyarakat tetap kondusif, damai dan rukun walaupun  pilihan politiknya berbeda. Perbedaan politik adalah soal biasa, bahkan dalam soal agamapun, perbedaan tetap saja ada.

“Tidak perlu kisruh hanya karena beda pilihan. Kerukunan wajib diutamakan,” pungkasnya