Entri yang Diunggulkan

Catatan umar bakri

 Kelas pagi Pendidikan perlu bersandar pada sistem among yang berpegangan pada Kodrat Alam dan Kodrat Zaman. Konsep Kodrat Alam menyatakan b...

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 25 Februari 2024

Catatan umar bakri

 Kelas pagi


Pendidikan perlu bersandar pada sistem among yang berpegangan pada Kodrat Alam dan Kodrat Zaman. Konsep Kodrat Alam menyatakan bahwa potensi, kekuatan, atau keadaan diri melekat pada masing-masing individu. 


Sedangkan Kodrat Zaman merupakan potensi, kekuatan, atau keadaan diri yang berubah secara dinamis, beradaptasi pada kondisi sosial, ataupun perkembangan zaman. 


Dalam pengertian ini dapat dilihat bahwa perkembangan individu seorang manusia yang melalui dua sendi Kodrat Alam dan Kodrat Zaman akan mengalami dua hal konsekuensi. 


Pertama, kodrat alam sebagai syarat kemajuan individu secara cepat dan baik. Kedua, kemerdekaan yang mengandung pengertian sebagai karunia Tuhan bagi manusia untuk mengatur dirinya sendiri zelfbeschikkingsrecht.

semoga sepirit belajar memudahkan jalan surga, nuqil dawuhe gus baha:


‎وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ 


Semoga tetap pada syarat tertib damainya hidup masyarakat (orde en vrede) akan menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin individu untuk dapat berpikir serta bertindak secara merdeka, berbudi luhur, dan bermanfaat untuk dunia dan akhirat.


Catatan umar bakri

Minggu, 21 Januari 2024

Entahlah

Rupanya, sampai detik ini aku belum juga mampu memahamimu! Memahamimu dari balik celah peristiwa yang satu ke peristiwa lainnya. Bahkan, dari muntahan sederetan tragedi bersama percikan bara yang berkali-kali memanaskan jiwa dan ragamu.

Sepertinya, hingga saat ini semua itu memang tiada arti sama sekali bagimu! Entah sampai kapan.

Pada sekian purnama bahkan musim telah berganti berulang-ulang, kau terlihat masih saja tidak mau mengerti tentang semuanya. Terbukti, tangan dan kakimu masih setia, menggantung pasrah tanpa daya bagaikan ranting menunggu saat kering tiba. Ranting yang bisa saja setiap waktu akan menjadi rapuh, patah, dan jatuh sendiri bahkan sebelum sempat mengeluarkan bunga atau buah.

Ya, yang kulihat belum ada tanda-tanda bahwa kau akan melakukan satu atau dua hal demi seulas senyum perubahan, perbaikan langkah-langkah pasti serta jalan hidupmu. Hal yang sebenarnya mampu memberikan secercah harapan pada mereka-mereka yang cukup setia menemanimu.

Tidakkah kau menginginkan hal itu? Hal yang membuat mereka semua akan melepas senyum dengan senyuman paling ikhlas, cantik dan menawan.

Entahlah!

Tidakkah sedikit pun kau mau mengerti arti rengekan istri dan anak-anakmu itu? Tetesan air mata yang sudah sewajarnya membuat dirimu iba. Sedu sedan yang seharusnya tenaga dan gairah hidupmu menjadi bangkit! Bukan sebaliknya, justru menggelapkan pandangan jernihmu yang kupercaya kau pernah dan masih bisa untuk memilikinya kembali.

Masih begitu jelas dalam ingatan--dan itu kuanggap lebih dari cukup, mulai dari pertengkaran antar sejawat sampai musuh-musuh yang kau ciptakan sendiri. Sebenarnya semua itu bisa menjadi pembelajaran buatmu. Pembelajaran untuk menjadi diri yang lebih baik lagi. Awalnya mungkin buat dirimu sendiri, yang pada gilirannya juga untuk diri-diri yang lain, disekitarmu.

Namun, entahlah! Sampai detik ini--saat ini kutuliskan, kumasih belum mampu memahamimu. Mengertimu agar bisa menjadi sosok lelaki yang tangguh, cukup bertanggung-jawab, menjadi kebanggaan mereka-mereka yang ada di bawah perlindunganmu.

Jika benar, kebingungan yang selalu saja kau rasakan. Mungkin semua itu, menurutku, disebabkan oleh bayang-bayang besar yang kau sematkan sendiri pada dirimu. Bayangan besar yang pada kisah selanjutnya akan menutupi hal-hal kecil yang sebenarnya jauh lebih berarti bagimu, paling tidak untuk saat ini.

Perhatikanlah! Betapa sering kesalahan besar terjadi dalam hidup, dan itu hanya disebabkan oleh hal-hal kecil yang luput dari penglihatan. Sebuah proses kecil yang sebenarnya sangat penting dan perlu dilalui bagi setiap "pendaki" masa depan, sepertimu!


Kamis, 18 Januari 2024

Pesan buat adhee...

 Pesan buat Dhe

_________________________________________

Memasuki akhir januari tahun ini. Sentuhan udara masih begitu menyengat, panas, meski beberapa kali rintik hujan sudah mulai turun membasahi permukaan bumi. Hujan yang mungkin saja dinanti oleh sebagian orang, tetapi belum tentu bagi sebagian yang lain.

Tidak perlu bertanya tentangnya, sebab, alam memiliki cara dan kemauan sendiri atas apa yang hendak dilakukan. Alam, bisa jadi sudah terlalu lelah jika harus terus-menerus menekuk lutut, tunduk dan patuh pada hasrat-ambisi setiap orang.

Namun, buatmu! Aku akan berusaha agar tetap tegar, berdiri kokoh di ujung paling depan setiap kali engkau memerlukan. 

Seperti waktu itu, Dhe...

Kini, hanya karena sikap dia yang berada di luar dugaan, engkau menjadi begitu sulit untuk memaafkannya. Lalu, mengira bahwa pilihan itu adalah paling bijak dan benar.

Engkau, sama sekali tidak ingin memberi kesempatan dan membuka hati untuk menerima cintanya lagi. Engkau, teramat sangat membencinya.

Dhe, dengarkan dan ketahuilah! Cobalah sedikit saja untuk kembali mau mengerti, bahwa setiap orang memiliki kisah juga pengalaman hidup yang berbeda. Bukan hanya dia, tetapi juga engkau, aku, ataupun mereka-mereka yang ada di sana. Suatu perbedaan yang tidak seharusnya melahirkan kebencian, melainkan kedewasaan cinta.

"Aku sungguh-sungguh tidak mengira bahwa dia akan berbuat seperti itu kepadaku, Kak!"

Dhe, mengenai hal ini. Apa engkau pernah tahu bahwa perbuatan yang telah dilakukannya itu adalah murni kesalahan dia?

Sementara yang kumengerti, besarnya rasa cinta yang dia miliki terhadapmu melebihi cinta kepada dirinya sendiri.

Selain yang dilakukannya adalah sandiwara, dia tidak ingin engkau sampai tahu dan mengerti apa yang sebenarnya sedang dia alami. Sebuah kenyataan pahit yang dia sendiri tidak pernah menduganya. Bahkan, dia sendiri meragukan bakal mampu berjuang untuk keluar dari kenyataan itu.

Dan ...

Lima tahun sudah berlalu. Dia berhasil berjuang. Senyumnya pun masih sama seperti dahulu, penuh cinta. Tidak terkecuali kepadamu.

Dhe, haruskah engkau tetap dan selalu akan membenci dirinya untuk selama-lamanya?


Lukisan Senja

 DIBALIK LUKISAN SENJA

Melihatmu, mengingatkanku pada seekor kucing putih yang terlindas tebalnya ban truk bermuatan penuh biji baja, di atas aspal hitam jalan raya, di bawah panas terik matahari, siang itu. Remuk dan hancur! Berserakan semua bagian tubuh dan tak ada lagi detak jantung yang sempat berdenyut, darinya.

Ya, sisi liarmu telah mati. Meninggalkan desah yang terlampau berat untuk bisa dinikmati. Olehmu. Oleh kita.

Tatap matamu melemah! Tak lagi mampu mengikuti lincah gesit tupai-tupai betina yang sedang berlari, bermain di ranting-ranting kering.

Dan, kini, kedua lenganmu hanya kuat untuk mengangkat secangkir air bening ketika dirimu merasa haus--itu pun dengan gemetaran. Bukan lagi lengan untuk mengangkat atau melingkari tubuh-tubuh beraroma wangi, seperti kesukaanmu kala-kala itu.

Adakah sesal membayang di bilik-bilik kepala, atau ruang-ruang hatimu?

Entahlah!

Yang kutahu mulutmu tetap membisu. Mendiamkan semua kenang yang bisa jadi takkan pernah berhenti menghampiri.

Kenang, yang bisa saja akan menjelma sesuai gambaran hidupmu. Menakutkan; mengerikan; atau justru terlalu indah hingga tak mungkin dirimu tertatih untuk mengkhawatirkannya. Kini, dan nanti.

* * *

"Le, mbesok yen wes gede ojo niru wong kae! Uripe mesakne."

Usai melihat wajah ayu ibunya, Roy menoleh ke arah lukisan wajah seorang pria yang tergantung di dinding rumah.

Tidak ada pertanyaan yang hinggap di dalam diri Roy, tetang lukisan wajah seorang pria itu.

Sebelum Roy menanggapi ucapan dari perempuan yang telah membesarkannya selama lebih dari tujuh tahun. Ciuman mendarat di pipi kirinya.

"Sing sabar yo, le. Urip karo mbokmu iki."

Roy pun mengangguk. Lalu memeluk tubuh ibunya.

Mereka pun kemudian makan singkong rebus yang masih mengepul asapnya, di temani sinar mentari pagi yang juga tidak kalah hangat--menyelinap masuk melalui jendela yang begitu lebar terbuka.

Banyak hal yang belum dimengerti oleh Roy. Tentang ibunya, ayahnya, juga lukisan wajah seorang pria yang entah sudah berapa lama tergantung di dinding rumah. Lebih-lebih, mengerti tentang bagaimana menata hidupnya di masa depan.

* * *

"Sudahlah. Yang sudah terjadi memang sudah semestinya terjadi."

Usai mendengar teman kuliahnya bicara, Roy bangkit dari duduknya. Kemudian ia dengan berat hati berjalan menuju mobil, meninggalkan batu nisan yang baru saja tertanam--bertuliskan nama ibunya.

Sambil berjalan, Roy berusaha mengerti ucapan yang baru saja didengar dari bibir temannya.

Tetesan air mata yang dari tadi tidak mampu ia bendung hingga membasahi kedua pipi, diusapnya perlahan-lahan dan beberapa kali. Sebelum akhirnya benar-benar mengering dan menghilang.

Dalam hati, Roy berkata; 'Ya, aku berjanji. Suatu saat nanti aku akan selalu dan bisa menyayangimu seutuhnya. Bukan rasa sayang yang sama seperti halnya yang telah dilakukan oleh pria yang ada dibalik lukisan wajah itu, kepada ibuku.'

Roy mencuri pandang pada wajah cantik yang sedang duduk di sampingnya. Wanita yang sampai hari ini masih ia anggap sebagai teman.

Wanita itu pun tersenyum kepada Roy. Lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah mana laju mobil membawa mereka berdua. Menjauhi Tempat Pemakaman yang sepi. 



Di bawah pohon sawo

Catatan di bawah pohon Sawo

Berseragam sekolah, pemuda itu dengan pelan mengayuh sepeda peninggalan ayahnya menuju tempat di mana ia hendak belajar. Meski sudah berkarat dan terlihat sangat usang ia sama sekali tidak mempedulikannya. Malu dengan apa yang ia punyai, baginya, akan menjadi penghalang pertama sebelum melangkah menuju cita-cita.

Yang dipedulikan oleh pemuda itu hanya ada satu. Bagaimana cara agar bisa melanjutkan sekolah di jenjang yang lebih tinggi meski tanpa biaya dari orangtua.

"Uihh, senyumnya!"

Mendengar seruan itu, seperti biasa, ia tetap tenang dan terus mengayuh sepeda tuanya melintasi gadis-gadis berjilbab yang berjalan berbarengan menuju arah yang sama. Sebelum akhirnya sampai di depan pintu gerbang dan masuk berdesakkan menuju halaman sekolah.

"Ayo! Cepat!"

Beberapa detik kemudian pintu gerbang sekolah pun ditutup oleh si Penjaga.

Pemuda itu membelokkan sepedanya ke arah timur. Kemudian menyandarkannya tepat di teras samping kiri kelasnya.

"Yan, kamu udah hafal?"

Pemuda itu hanya tersenyum. Satu pertanyaan dari teman sekelasnya itu tidak lantas membuat dirinya bingung.

"Lihat aja entar."

Begitulah! Pemuda itu setiap detiknya selalu menampakkan ketenangan dirinya, seolah tidak pernah menanggung beban sama sekali. Senyum yang menghias rapi bersama gigi-gigi putihnya juga tidak pernah berhenti ia suguhkan di depan semua teman-temannya.

"Hellehh! Entar juga senyum-senyum berdiri di depan kelas." Laila berucap sambil tertawa, mengejek pemuda itu, kemudian diikuti oleh teman-teman lainnya.

"Eh, Pak Qomar udah datang!"

Kholid tiba-tiba masuk kelas dan segera meletakkan satu buku yang tadi ia bawa di atas mejanya. Kemudian diikuti oleh Mufid.

Pak Qomar pun masuk kelas dan duduk di meja depan. Usai mengucapkan salam, ia bertanya, "Gimana, udah hafal semua?"

Untuk sesaat semua penghuni kelas terdiam.

"Mufid?"

"Udah, Pak."

"Jihad?"

"Sepertinya udah, Pak."

"Laila?"

"Saya udah siap, Pak."

"Udah siap apa, kamu itu, Laaa? Yang jelas doong!" Pemuda itu menyela.

Sepontan, suara cekikikan dari penghuni kelas lepas satu persatu. 

"Semua, diam!"

Setelah berteriak, kedua mata Pak Qomar melotot ke arah pemuda itu.

"Kamu, Biyant! Apa udah hafal?"

"Biyant udah siap kok, Pak!" Sontak, semua teman pemuda itu menjawab bersamaan dengan jawaban yang sama kepada Pak Qomar. Seperti halnya sedang latihan paduan suara. Begitu kompaknya.

Sedangkan pemuda itu hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Mungkin ada kutu yang menari-nari di sela-sela rambut klimisnya.



Selasa, 02 Juli 2019

Jembatan Cangar


Jalur Cangar tak asing lagi bagi para pengguna jalan Malang-Surabaya, atau Batu-Mojokerto dan sebaliknya. Lewat jalur ini, kedua daerah tersebut akan lebih dekat ketimbang melewati jalur besar, belum lagi jika macet. T api, jalur tersebut sangat ekstrim. Tanjakan dan turunan curam, disertai belokan ekstrim akan menyambut para pengguna jalur Cangar ini. ini memang berada di pegunungan, maka tak heran sepanjang jalur ini akan ada hutan dan jurang di kanan dan kiri. Jika menjelang petang, jalur ini akan diselimuti kabut tebal.
Selain ekstrim, jalur ini terkenal dengan keangkerannya. Beberapa pengendara mengaku sering melihat sosok genderuwo yang berdiri di tepi jalan.
Bahkan, cerita tentang hantu sebagai penunjuk jalan pun merebak di kalangan masyarakat. Dalam hal ini bukan menunjukkan jalan agar lebih cepat tiba di tujuan, tapi justru lebih cepat menghadap ke yang Maha Kuasa. Amit-amit ya otolovers.
Konon, saat menjelang petang, makhluk-makhluk gaib penghuni jalur Cangar ini pun mulai beraksi. Jalan yang seharusnya berbelok, akan dibuatnya lurus dan terang. Sehingga pengguna jalan akan tertipu mengikutinya dan terjun bebas ke jurang.
Terlebih setelah melewati sebuah jembatan yang membelah lembah Berantas. Jembatan itu terkenal sangat angker. Banyak pengguna jalan yang akhirnya terlibat kecelakaan di jembatan Cangar.
Masyarakat sekitar kerap menghubungkan keduanya, antara kecelakaan dan gangguan makhluk gaib. Entah benar atau tidak. Tapi banyak yang menyarankan bahwa pengemudi harus memiliki pikiran yang bersih untuk melewati jalur ini agar terhindar dari marabahaya.

Selasa, 12 Maret 2019

Menempelkan kaki di shof sholat

Menyempurnakan barisan shaf shalat merupakan salah satu hal yang menjadikan shalat jama’ah menjadi lebih utama. Jika barisan shaf shalat tidak teratur, maka akan berpengaruh terhadap fadhilah jama’ah bagi para makmum yang mengikuti jamaah, sebab barisan shaf yang tidak teratur merupakan salah satu kemakruhan dalam shalat jama’ah yang menyebabkan fadhilah jamaah menjadi hilang menurut Imam Ibnu Hajar (Lihat Syekh Husein Abdullah, Itsmidul ‘Ainain, halaman 33).

Dalam praktiknya, sebagian masyarakat ada yang berpandangan bahwa menyempurnakan shaf ini adalah dengan cara menempelkan kaki kita pada kaki orang lain yang ada di sebelah kita, hal yang sama juga berlaku bagi makmum-makmum yang lain.

Selain kaki, bahu dan lutut juga harus ditempelkan dengan bahu dan lutut orang yang ada di samping kita. Jika ketentuan demikian tidak dipenuhi, maka dianggap menyalahi perintah Rasulullah dalam hal pengaturan shaf. Sebenarnya, benarkah pandangan demikian?

Memang dalam salah satu hadits dijelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat agar merapatkan shaf, lalu para sahabat saling merapatkan barisan shafnya dengan cara menempelkan telapak kaki dan bahu mereka dengan bahu dan telapak kaki orang lain yang ada di sampingnya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat Sahabat Anas bin Malik:

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Artinya, “Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, ‘Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku,’ (Sahabat Anas berkata) ‘Ada di antara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan menempelkan telapak kakinya dengan telapak kaki temannya,’” (HR Bukhari).

Hadits di atas tidak dapat dipahami secara literal sehingga menyimpulkan bahwa menempelkan kaki dan bahu adalah suatu kewajiban dalam shalat. Pemahaman demikian tidak dibenarkan, sebab hal tersebut sebenarnya hanya dilaksanakan oleh sebagian sahabat nabi saja, tidak secara keseluruhan.

Dengan berdasarkan redaksi “Ada di antara kami” (Wa kana ahaduna) yang terdapat dalam teks matan hadits di atas. Sedangkan segala hal tentang sahabat, hanya dapat dijadikan hujjah ketika memang  dilakukan oleh sahabat secara keseluruhan, bukan sebagian. Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam Kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam:

ويدل على مذهب الاكثرين أن الظاهر من الصحابي أنه إنما أورد ذلك في معرض الاحتجاج، وإنما يكون ذلك حجة إن لو كان ما نقله مستندا إلى فعل الجميع، لان فعل البعض لا يكون حجة على البعض الآخر، ولا على غيرهم

Artinya, “Menurut pendapat mayoritas madzhab bahwa hal yang tampak dari para sahabat memang disampaikan dalam kasus penyampaian hujjah, namun dari hal tersebut yang dapat dijadikan hujjah hanya ketika memang apa yang mereka nukil disandarkan pada perbuatan seluruh sahabat. Sebab perbuatan sebagian sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atas sebagian sahabat yang lain dan juga tidak menjadi hujjah bagi selain sahabat,” (Lihat Saifuddin Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, juz II, halaman 110).

Dengan demikian kewajiban menempelkan telapak kaki dan bahu satu sama lain, dengan berdasarkan hadits di atas tidak bisa dibenarkan, sebab konteks hadits di atas hanya menjelaskan tentang keutamaan merapatkan shaf dengan cara seperti yang dilakukan para sahabat di atas, bukan tata cara yang diwajibkan bagi para makmum yang hendak melaksanakan shalat jamaah.

Lebih jauh lagi, dalam Aunul Ma’buddijelaskan bahwa merapatkan shaf dengan cara seperti di hadits adalah hal yang sangat dianjurkan, namun jika praktek tersebut dilaksanakan pada masa kini, maka orang-orang akan lari, karena praktik pemerataan shaf dengan cara tersebut sudah jarang dilakukan sehingga ketika hal tersebut dilakukan, maka orang-orang akan lari karena dianggap melakukan sesuatu yang aneh. Berikut redaksi tersebut:

فهذه الأحاديث فيها دلالة واضحة على اهتمام تسوية الصفوف وأنها من إتمام الصلاة وعلى أنه لا يتأخر بعض على بعض ولا يتقدم بعضه على بعض وعلى أنه يلزق منكبه بمنكب صاحبه وقدمه بقدمه وركبته بركبته لكن اليوم تركت هذه السنة ولو فعلت اليوم لنفر الناس كالحمر الوحشية

Artinya, “Hadits-Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang pentingnya meratakan shaf yang merupakan sebagian hal yang menyempurnakan shalat. Tidak diperkenankan untuk mundur satu sama lain dan maju satu sama lain serta menempelkan pundak, telapak kaki dan lutut satu sama lain. Tetapi kesunnahan seperti ini sudah ditinggalkan pada masa ini, jika ketentuan demikian dilakukan hari ini maka manusia akan lari seperti halnya keledai liar,” (Muhammad Syamsul Haq, Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, juz II, halaman 256).

Ma’mar, salah satu rawi dari hadits diatas menjelaskan hal yang sama bahwa jika praktik merapatkan shaf seperti di atas dilakukan di masa kini, maka orang-orang akan lari:

وزاد معمر في روايته ولو فعلت ذلك بأحدهم اليوم لنفر كأنه بغل شموص

Artinya, “Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya ‘Jika aku melakukan hal tersebut dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas,’” (Lihat Badruddin Al-‘Aini,Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari, juz VI, halaman 478).

Dari berbagai kritik di atas dapat dipahami bahwa dalam mengamalkan suatu kesunnahan, perlu menyelaraskan antara perintah syara’ dan keadaan masyarakat sekitar. Sebab jika hal tersebut tidak dilakukan, akan banyak masyarakat yang salah paham karena cara tersebut masih belum umum diamalkan oleh masyarakat sekitar. Padahal syara’ menganjurkan untuk beradaptasi dengan masyarakat selama bukan dalam hal yang menyalahi aturan syariat (Muwafaqatun nas ma lam yukhalif syar’an).

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa menempelkan kaki ke orang lain dalam shalat jamaah bukanlah suatu kewajiban, namun sebatas anjuran dalam hal menyempurnakan barisan shaf.

Sebaliknya, jika melaksanakan hal ini justru akan membuat para jamaah yang lain enggan mendekatinya, karena dianggap terlalu fanatik dalam beragama misalnya, maka baiknya merapatkan shaf dilakukan dengan cara yang lain sekiranya dapat diterima oleh masyarakat sekitar dan barisan shaf tetap dipandang rapi dan baik, dengan begitu ia dapat menjalankan anjuran syara’ sekaligus bersikap husnul khuluq pada masyarakat. Wallahu a’lam.