Entri yang Diunggulkan

Catatan umar bakri

 Kelas pagi Pendidikan perlu bersandar pada sistem among yang berpegangan pada Kodrat Alam dan Kodrat Zaman. Konsep Kodrat Alam menyatakan b...

Kamis, 18 Januari 2024

Lukisan Senja

 DIBALIK LUKISAN SENJA

Melihatmu, mengingatkanku pada seekor kucing putih yang terlindas tebalnya ban truk bermuatan penuh biji baja, di atas aspal hitam jalan raya, di bawah panas terik matahari, siang itu. Remuk dan hancur! Berserakan semua bagian tubuh dan tak ada lagi detak jantung yang sempat berdenyut, darinya.

Ya, sisi liarmu telah mati. Meninggalkan desah yang terlampau berat untuk bisa dinikmati. Olehmu. Oleh kita.

Tatap matamu melemah! Tak lagi mampu mengikuti lincah gesit tupai-tupai betina yang sedang berlari, bermain di ranting-ranting kering.

Dan, kini, kedua lenganmu hanya kuat untuk mengangkat secangkir air bening ketika dirimu merasa haus--itu pun dengan gemetaran. Bukan lagi lengan untuk mengangkat atau melingkari tubuh-tubuh beraroma wangi, seperti kesukaanmu kala-kala itu.

Adakah sesal membayang di bilik-bilik kepala, atau ruang-ruang hatimu?

Entahlah!

Yang kutahu mulutmu tetap membisu. Mendiamkan semua kenang yang bisa jadi takkan pernah berhenti menghampiri.

Kenang, yang bisa saja akan menjelma sesuai gambaran hidupmu. Menakutkan; mengerikan; atau justru terlalu indah hingga tak mungkin dirimu tertatih untuk mengkhawatirkannya. Kini, dan nanti.

* * *

"Le, mbesok yen wes gede ojo niru wong kae! Uripe mesakne."

Usai melihat wajah ayu ibunya, Roy menoleh ke arah lukisan wajah seorang pria yang tergantung di dinding rumah.

Tidak ada pertanyaan yang hinggap di dalam diri Roy, tetang lukisan wajah seorang pria itu.

Sebelum Roy menanggapi ucapan dari perempuan yang telah membesarkannya selama lebih dari tujuh tahun. Ciuman mendarat di pipi kirinya.

"Sing sabar yo, le. Urip karo mbokmu iki."

Roy pun mengangguk. Lalu memeluk tubuh ibunya.

Mereka pun kemudian makan singkong rebus yang masih mengepul asapnya, di temani sinar mentari pagi yang juga tidak kalah hangat--menyelinap masuk melalui jendela yang begitu lebar terbuka.

Banyak hal yang belum dimengerti oleh Roy. Tentang ibunya, ayahnya, juga lukisan wajah seorang pria yang entah sudah berapa lama tergantung di dinding rumah. Lebih-lebih, mengerti tentang bagaimana menata hidupnya di masa depan.

* * *

"Sudahlah. Yang sudah terjadi memang sudah semestinya terjadi."

Usai mendengar teman kuliahnya bicara, Roy bangkit dari duduknya. Kemudian ia dengan berat hati berjalan menuju mobil, meninggalkan batu nisan yang baru saja tertanam--bertuliskan nama ibunya.

Sambil berjalan, Roy berusaha mengerti ucapan yang baru saja didengar dari bibir temannya.

Tetesan air mata yang dari tadi tidak mampu ia bendung hingga membasahi kedua pipi, diusapnya perlahan-lahan dan beberapa kali. Sebelum akhirnya benar-benar mengering dan menghilang.

Dalam hati, Roy berkata; 'Ya, aku berjanji. Suatu saat nanti aku akan selalu dan bisa menyayangimu seutuhnya. Bukan rasa sayang yang sama seperti halnya yang telah dilakukan oleh pria yang ada dibalik lukisan wajah itu, kepada ibuku.'

Roy mencuri pandang pada wajah cantik yang sedang duduk di sampingnya. Wanita yang sampai hari ini masih ia anggap sebagai teman.

Wanita itu pun tersenyum kepada Roy. Lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah mana laju mobil membawa mereka berdua. Menjauhi Tempat Pemakaman yang sepi. 



0 komentar:

Posting Komentar