Entri yang Diunggulkan

Catatan umar bakri

 Kelas pagi Pendidikan perlu bersandar pada sistem among yang berpegangan pada Kodrat Alam dan Kodrat Zaman. Konsep Kodrat Alam menyatakan b...

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 18 Januari 2024

Pesan buat adhee...

 Pesan buat Dhe

_________________________________________

Memasuki akhir januari tahun ini. Sentuhan udara masih begitu menyengat, panas, meski beberapa kali rintik hujan sudah mulai turun membasahi permukaan bumi. Hujan yang mungkin saja dinanti oleh sebagian orang, tetapi belum tentu bagi sebagian yang lain.

Tidak perlu bertanya tentangnya, sebab, alam memiliki cara dan kemauan sendiri atas apa yang hendak dilakukan. Alam, bisa jadi sudah terlalu lelah jika harus terus-menerus menekuk lutut, tunduk dan patuh pada hasrat-ambisi setiap orang.

Namun, buatmu! Aku akan berusaha agar tetap tegar, berdiri kokoh di ujung paling depan setiap kali engkau memerlukan. 

Seperti waktu itu, Dhe...

Kini, hanya karena sikap dia yang berada di luar dugaan, engkau menjadi begitu sulit untuk memaafkannya. Lalu, mengira bahwa pilihan itu adalah paling bijak dan benar.

Engkau, sama sekali tidak ingin memberi kesempatan dan membuka hati untuk menerima cintanya lagi. Engkau, teramat sangat membencinya.

Dhe, dengarkan dan ketahuilah! Cobalah sedikit saja untuk kembali mau mengerti, bahwa setiap orang memiliki kisah juga pengalaman hidup yang berbeda. Bukan hanya dia, tetapi juga engkau, aku, ataupun mereka-mereka yang ada di sana. Suatu perbedaan yang tidak seharusnya melahirkan kebencian, melainkan kedewasaan cinta.

"Aku sungguh-sungguh tidak mengira bahwa dia akan berbuat seperti itu kepadaku, Kak!"

Dhe, mengenai hal ini. Apa engkau pernah tahu bahwa perbuatan yang telah dilakukannya itu adalah murni kesalahan dia?

Sementara yang kumengerti, besarnya rasa cinta yang dia miliki terhadapmu melebihi cinta kepada dirinya sendiri.

Selain yang dilakukannya adalah sandiwara, dia tidak ingin engkau sampai tahu dan mengerti apa yang sebenarnya sedang dia alami. Sebuah kenyataan pahit yang dia sendiri tidak pernah menduganya. Bahkan, dia sendiri meragukan bakal mampu berjuang untuk keluar dari kenyataan itu.

Dan ...

Lima tahun sudah berlalu. Dia berhasil berjuang. Senyumnya pun masih sama seperti dahulu, penuh cinta. Tidak terkecuali kepadamu.

Dhe, haruskah engkau tetap dan selalu akan membenci dirinya untuk selama-lamanya?


Lukisan Senja

 DIBALIK LUKISAN SENJA

Melihatmu, mengingatkanku pada seekor kucing putih yang terlindas tebalnya ban truk bermuatan penuh biji baja, di atas aspal hitam jalan raya, di bawah panas terik matahari, siang itu. Remuk dan hancur! Berserakan semua bagian tubuh dan tak ada lagi detak jantung yang sempat berdenyut, darinya.

Ya, sisi liarmu telah mati. Meninggalkan desah yang terlampau berat untuk bisa dinikmati. Olehmu. Oleh kita.

Tatap matamu melemah! Tak lagi mampu mengikuti lincah gesit tupai-tupai betina yang sedang berlari, bermain di ranting-ranting kering.

Dan, kini, kedua lenganmu hanya kuat untuk mengangkat secangkir air bening ketika dirimu merasa haus--itu pun dengan gemetaran. Bukan lagi lengan untuk mengangkat atau melingkari tubuh-tubuh beraroma wangi, seperti kesukaanmu kala-kala itu.

Adakah sesal membayang di bilik-bilik kepala, atau ruang-ruang hatimu?

Entahlah!

Yang kutahu mulutmu tetap membisu. Mendiamkan semua kenang yang bisa jadi takkan pernah berhenti menghampiri.

Kenang, yang bisa saja akan menjelma sesuai gambaran hidupmu. Menakutkan; mengerikan; atau justru terlalu indah hingga tak mungkin dirimu tertatih untuk mengkhawatirkannya. Kini, dan nanti.

* * *

"Le, mbesok yen wes gede ojo niru wong kae! Uripe mesakne."

Usai melihat wajah ayu ibunya, Roy menoleh ke arah lukisan wajah seorang pria yang tergantung di dinding rumah.

Tidak ada pertanyaan yang hinggap di dalam diri Roy, tetang lukisan wajah seorang pria itu.

Sebelum Roy menanggapi ucapan dari perempuan yang telah membesarkannya selama lebih dari tujuh tahun. Ciuman mendarat di pipi kirinya.

"Sing sabar yo, le. Urip karo mbokmu iki."

Roy pun mengangguk. Lalu memeluk tubuh ibunya.

Mereka pun kemudian makan singkong rebus yang masih mengepul asapnya, di temani sinar mentari pagi yang juga tidak kalah hangat--menyelinap masuk melalui jendela yang begitu lebar terbuka.

Banyak hal yang belum dimengerti oleh Roy. Tentang ibunya, ayahnya, juga lukisan wajah seorang pria yang entah sudah berapa lama tergantung di dinding rumah. Lebih-lebih, mengerti tentang bagaimana menata hidupnya di masa depan.

* * *

"Sudahlah. Yang sudah terjadi memang sudah semestinya terjadi."

Usai mendengar teman kuliahnya bicara, Roy bangkit dari duduknya. Kemudian ia dengan berat hati berjalan menuju mobil, meninggalkan batu nisan yang baru saja tertanam--bertuliskan nama ibunya.

Sambil berjalan, Roy berusaha mengerti ucapan yang baru saja didengar dari bibir temannya.

Tetesan air mata yang dari tadi tidak mampu ia bendung hingga membasahi kedua pipi, diusapnya perlahan-lahan dan beberapa kali. Sebelum akhirnya benar-benar mengering dan menghilang.

Dalam hati, Roy berkata; 'Ya, aku berjanji. Suatu saat nanti aku akan selalu dan bisa menyayangimu seutuhnya. Bukan rasa sayang yang sama seperti halnya yang telah dilakukan oleh pria yang ada dibalik lukisan wajah itu, kepada ibuku.'

Roy mencuri pandang pada wajah cantik yang sedang duduk di sampingnya. Wanita yang sampai hari ini masih ia anggap sebagai teman.

Wanita itu pun tersenyum kepada Roy. Lalu kembali memalingkan wajahnya ke arah mana laju mobil membawa mereka berdua. Menjauhi Tempat Pemakaman yang sepi. 



Di bawah pohon sawo

Catatan di bawah pohon Sawo

Berseragam sekolah, pemuda itu dengan pelan mengayuh sepeda peninggalan ayahnya menuju tempat di mana ia hendak belajar. Meski sudah berkarat dan terlihat sangat usang ia sama sekali tidak mempedulikannya. Malu dengan apa yang ia punyai, baginya, akan menjadi penghalang pertama sebelum melangkah menuju cita-cita.

Yang dipedulikan oleh pemuda itu hanya ada satu. Bagaimana cara agar bisa melanjutkan sekolah di jenjang yang lebih tinggi meski tanpa biaya dari orangtua.

"Uihh, senyumnya!"

Mendengar seruan itu, seperti biasa, ia tetap tenang dan terus mengayuh sepeda tuanya melintasi gadis-gadis berjilbab yang berjalan berbarengan menuju arah yang sama. Sebelum akhirnya sampai di depan pintu gerbang dan masuk berdesakkan menuju halaman sekolah.

"Ayo! Cepat!"

Beberapa detik kemudian pintu gerbang sekolah pun ditutup oleh si Penjaga.

Pemuda itu membelokkan sepedanya ke arah timur. Kemudian menyandarkannya tepat di teras samping kiri kelasnya.

"Yan, kamu udah hafal?"

Pemuda itu hanya tersenyum. Satu pertanyaan dari teman sekelasnya itu tidak lantas membuat dirinya bingung.

"Lihat aja entar."

Begitulah! Pemuda itu setiap detiknya selalu menampakkan ketenangan dirinya, seolah tidak pernah menanggung beban sama sekali. Senyum yang menghias rapi bersama gigi-gigi putihnya juga tidak pernah berhenti ia suguhkan di depan semua teman-temannya.

"Hellehh! Entar juga senyum-senyum berdiri di depan kelas." Laila berucap sambil tertawa, mengejek pemuda itu, kemudian diikuti oleh teman-teman lainnya.

"Eh, Pak Qomar udah datang!"

Kholid tiba-tiba masuk kelas dan segera meletakkan satu buku yang tadi ia bawa di atas mejanya. Kemudian diikuti oleh Mufid.

Pak Qomar pun masuk kelas dan duduk di meja depan. Usai mengucapkan salam, ia bertanya, "Gimana, udah hafal semua?"

Untuk sesaat semua penghuni kelas terdiam.

"Mufid?"

"Udah, Pak."

"Jihad?"

"Sepertinya udah, Pak."

"Laila?"

"Saya udah siap, Pak."

"Udah siap apa, kamu itu, Laaa? Yang jelas doong!" Pemuda itu menyela.

Sepontan, suara cekikikan dari penghuni kelas lepas satu persatu. 

"Semua, diam!"

Setelah berteriak, kedua mata Pak Qomar melotot ke arah pemuda itu.

"Kamu, Biyant! Apa udah hafal?"

"Biyant udah siap kok, Pak!" Sontak, semua teman pemuda itu menjawab bersamaan dengan jawaban yang sama kepada Pak Qomar. Seperti halnya sedang latihan paduan suara. Begitu kompaknya.

Sedangkan pemuda itu hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Mungkin ada kutu yang menari-nari di sela-sela rambut klimisnya.