Strategi Pemberdayaan Masyarakat
By : Jie D. Rahman
Bertitik tolak dari UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dimana
masyarakat diberi kesempatan untuk ikut mengelola kawasan hutan sebagai
alternatif bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat adalah merupakan
inti dari konsep Social Forestry yang sekarang ini menjadi paradigma
baru dalam pembangunan sektor kehutanan. Menindaklanjuti hal itu oleh
Pemerintah c.q Departemen Kehutanan pada bulan Juli 2003 dicanangkanlah
program Social Forestry sebagai upaya perbaikan kondisi hutan di
Indonesia sekaligus dapat meningkatkan kesejahterakan masyarakat di
dalam dan di sekitar hutan. Inti dari program Social Forestry adalah
masyarakat terlibatkan aktif secara langsung dalam pengelolaan hutan
dengan tujuan masyarakat bisa sejahtera dan kondisi hutan bisa lebih
baik.
Berdasarkan paradigma Social forestry tersebut maka keberhasilan
pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh sejauhmana tingkat
partisipasi masyarakat dalam berkontribusi terhadap upaya pengelolaan
hutan dan kualitas sumberdaya manusia yang mendukungnya. Dalam upaya
pengembangan kualitas masyarakat khususnya yang bermukim di dalam dan
sekitar hutan agar maju dan mandiri sebagai pelaku pembangunan
kehutanan, maka strategi pemberdayaan masyarakat dalam upaya
rehabilitasi hutan dan lahan mutlak dilaksanakan.
Pada kenyatannya dilapangan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
kehutanan masih lemah karena belum didukung oleh kelembagaan masyarakat
yang kuat antara lain pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, sistem
pengorganisasian yang belum sempurna, kesulitan memperoleh modal dan
akses pemasaran yang belum memadai. Padahal aspek kelembagaan mempunyai
peranan sangat besar bagi kesuksesan pembangunan hingga dapat dikatakan
bahwa kegagalan pembangunan umumnya dikarenakan lemahnya kelembagaan
yang ada termasuk sektor kehutanan.
Dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri sebagai pelaku pembangunan
kehutanan dimasa yang akan datang sebagaimana semangat dalam program
Social Forestry maka hal yang sangat urgen dilakukan adalah membangun,
memperkuat dan mengembangkan kelembagaan masyarakat yang terkait dengan
pembangunan kehutanan.
Proses pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya bagaiman
masyarakat itu dapat mengenal dan merefleksikan permasalahannya
sendiri, potensi diri dan lingkungannya serta memotivasi dalam
mengembangkan potensi tersebut secara proporsional dengan cara/metode
partisipatif.
Pemberdayaan Masyarakat Dimasa Lalu
Sesungguhnya proses pemberdayan masyarakat di sekitar hutan dalam
rangka pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia sudah dimulai sejak lama
yang implementasinya dalam bentuk penghijauan, reboisasi dan
rehabilitasi lahan kritis diberbagai DAS sejak tahun PELITA I (1970-an).
Semua program tersebut dimaksudkan supaya nilai-nilai pengelolaan hutan
dan lahan dapat melembaga di masyarakat. Dari segi keproyekan sudah
ribuan ha lahan yang sudah direboisasi, dihijaukan dan direhabilitasi.
Demikian juga pembinaan masyarakat, sudah ribuan orang dilatih dan
disuluhkan nilai-nilai pengelolaanhutan dan lahan. Namun demikian issu
dan permasalahan yang berkaitan dengan kelestarian hutan dan lahan masih
saja menjadi issu atau problematik yang menarik untuk dibicarakan dan
memerlukan penanganan tersendiri. Fenomena kerusakan hutan dan lahan
dalam satuan DAS seperti kekeringan, banjir, erosi dan sedimentasi masih
saja terjadi bahkan kecenderungannya meningkat. Data terakhir
menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan sebesar 1,6 juta ha/tahun jauh
melebihi kemampuan untuk merehabilitasinya yang hanya sekitar 900.000
s/d 1,2 juta ha/tahun. Dari beberapa laporan menunjukkan bahwa:
- tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolan DAS masih rendah
- banyak proyek-proyek yang keberhasilannya sulit dipertahankan
- kebijakan antar pemerintah atau NGO sering tidak sejalan (conflik of
interest)
- intervensi masyarakat terhadap lahan semakin ganas karena telah
mamasuki zona lindung. Padahal undang-undang telah menegaskan bahwa
setiap masyarakat atau lembaga yang mengelolah atau memanfaatkan
sumberdaya alam diwajibkan untuk memelihara dan melakukan kegiatan
konservasi tanah dan air.
Dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan
dan lahan Indonesia belum melembaga dalam kehidupan masyarakat. Masih
banyak pemanfatan sumberdaya alam yang tidak menerapkan konsep-konsep
pengelolaan hutan lestari . Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan
nilai-nilai pengelolan hutan lestari masih rendah, belum diikuti oleh
partisipasi masyarakat.
Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah strategi yang
dilaksanakan selama ini kurang melibatkan masyarakat. Keterlibatan
mereka dalam pengelolaan hutan menjadi terbatas bahkan di berbagai
lokasi menjadi hilang. Hal ini membuat masyarakat merasa asing terhadap
lingkungan yang selama puluhan tahun digelutinya, bahkan di beberapa
tempat kegiatan mereka di hutan dianggap illegal. Lebih jauh lagi, rasa
memiliki mereka terhadap hutan di sekelilingnya menghilang. Di berbagai
daerah di Indonesia banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan
pihak swasta (HPH) dan BUMN (Perhutani, Inhutani), dan antara masyarakat
dengan pemerintah berkaitan dengan pemanfaatan dan pemilikan hutan.
Dampak dari keadaan ini adalah kerusakan hutan yang tak terkendali
disamping itu kesejahteraan masyarakat juga tidak kunjung membaik.
Disamping itu paradigma yang berkembang dimasa lalu adalah bahwa
problema pengelolaan hutan dan lahan bukanlah problema masyarakat akan
tetapi merupakan problema pemerintah. Karena kegiatan yang dilakukan
bersifat top down dan instruksional serta kurang memperhatikan
faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses pelembagaan baik dari
aspek teknologi maupun dari aspek organisasi dan nilai yang
menyertainya. Teknologi yang diintrodusir biasanya merupakan paket yang
ditentukan dari pusat, demikian juga dalam penentuan organisasi kelompok
tani peserta kegiatan proyek tertentu.
Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekaligus melindungi
dan atau memperbaiki kondisi hutan yang telah rusak, oleh pemerintah
sekarang ini lebih menekankan bentuk keterlibatan masyarakat secara luas
dalam pengelolaan hutan dengan menjadikan mereka sebagai partner.
Sehingga pada tahun 2003, berlokasi di Kalimantan Tengah, Pemerintah
Indonesia c.q Departemen Kehutanan mencanangkan program nasional Social
Forestry. Program ini diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan dan
menjaga kelestarian hutan itu sendiri serta memberikan penghasilan dan
sumber pangan bagi masyarakat setempat. Sebagai pilot percontohan telah
dipilih 11 lokasi Social Forestry di seluruh Indonesia. Kesebelas lokasi
tersebut mewakili berbagai type peruntukan hutan.
Social Forestry atau Perhutanan Sosial dapat didefinisikan sebagai
suatu sistem pengelolaan hutan dimana masyarakat lokal berpartisipasi
aktif didalamnya untuk mensejahterakan mereka dan sekaligus melestarikan
atau memperbaiki hutan di sekelilingnya.
Dalam program Social Forestry ini, masyarakat akan dilibatkan dalam
pengelolaan hutan dari perencanaan, pemanfaatan, dan pemasarannya.
Masyarakat juga diberi hak untuk mengelola kawasan hutan dengan
batasan-batasan tertentu. Menurut versi Departemen Kehutanan, Social
Forestry meliputi 3 aspek, yaitu aspek kelola kawasan, kelola
kelembagaan dan kelola usaha/bisnis. Adanya aspek „kelola kelembagaan‟
menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan salah satu kunci penting
keberhasilan pengelolaan hutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
kelembagaan di tingkat masyarakat sangat lemah karena banyak kelembagaan
yang merupakan bentukan dari luar untuk penyaluran atau mendapatkan
proyek. Karenanya banyak program, proyek ataupun bantuan dari luar yang
bermaksud untuk membangun masyarakat desa berakhir dengan kegagalan.
Sebagai contoh, IDT (Inpres Desa Tertinggal), PPPK (Proyek Pembangunan
Kecamatan), Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan, dan sebagainya.
Dengan pengalaman tersebut, dalam pelaksanaan Social Forestry,
perencanaan yang matang dan keterlibatan berbagai pihak sejak awal
merupakan bagian penting dalam mengawali program ini. Pemerintah pusat
menyediakan banyak dana untuk pembuatan perencanaan teknis (RTSF). Dalam
pembuatan RTSF, pemerintah pusat tidak lagi memakai jasa konsultan
namun dilakukan oleh masyarakat sendiri bersama instansi pemerintah
daerah terkait, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Mereka
diberi pelatihan oleh tenaga ahli dari pusat dan didampingi dalam
pelaksanaan pembuatan RTSF. Kelompok-kelompok dibentuk, merencanakan
kegiatan yang mereka minati sesuai dengan kemampuan mereka dan nantinya
akan melaksanakan kegiatan yang mereka rencanakan tersebut. Dikarenakan
keterbatasan tenaga dari Pemerintah Pusat maka dipersiapkan
tenaga-tenaga pendamping lokal untuk melanjutkan kegiatan lapangan.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
1. Proses Pemberdayaan.
Paradigma pemberdayaan (empowerment) adalah pemberian kesempatan
kerja kelompok untuk merencanakan kemudian melaksanakan program
pembangunan tersebut yang mereka pilih sendiri. Maksud dari pemberdayaan
itu adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian kelompok. Keberdayaan
masyarakat merupakan unsur utama/dasar yang memungkinkan suatu
masyarakat itu dapat bertahan dan mengembangkan diri dalam mencapai
tujuan.
Upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dengan orientasi
pembangunan yang berpusat pada masyarakat antara lain dapat dilkukan
melalui pendekatan kelembagaan. Dengan pendekatan pembangunan seperti
ini maka pembangunan diartikan sebagai peningkatan kemampuan orang untuk
mempengaruhi masa depannya dengan implikasi capacity, empowerment, dan
sustanable (Brynt & White, 1987).
Pembangunan haruslah memiliki visi pemberdayaan manusia dan
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya, sebab sepanjang jaman
keswadayaan merupakan sumber daya kehidupan yang abadi dan manusia
menjadi intinya atau fokusnya dan partisipasi merupakan perwujudan
optimalnya. Keberdayaan merupakan modal utama masyarakat untuk
mengembangkan dirinya serta mempertahankan keberadaannya ditengah
masyarakat lainnya.
Proses Pemberdayaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Secara
individual 2. Secara kolektif/kelompok.
Proses pemberdayan dengan pendekatan individual akan lebih lambat
berkembang dan cakupannya lebih sempit dibanding dengan pendekatan
secara kolektif dan kelompok. Hal ini disebabkan karena didalam kelompok
terjadi proses interaksi yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan
solidaritas.
Disamping itu pula perubahan pola pikir petani melalui aktifitas
individu biasanya lebih lambat dibanding dengan petani yang aktif dalam
kegiatan kelompok. Demikian pula penerapan inovasi baru melalui
aktifitas kelompok akan lebih cepat dan lebih meluas dibanding jika
disampaikan melalui pendekatan individu. Ikatan dalam kelompok terbentuk
karena adanya pandangan dan kebutuhan yang sama yang hendak dicapai.
Untuk memperkuat kesadaran dan solidaritas maka kelompok harus
menumbuhkan identitas seragam dalam mengenali kepentingan dan tujuan
mereka bersama. Bila anggota kelompok belum seragam mengenali
kepentingan dan tujuan bersama yang hendak dicapai bahkan sering samar,
tidak jelas atau tidak diketahui maka kelompok itu tidak dinamis bahkan
lambat laun akan bubar dengan sendirinya.
Ada lima misi utama program pemberdayaan masyarakat yang menjamin
tercapainya hasil yang baik adalah sebagai berikut:
1. Penyadaran.
Dalam banyak kasus di pedesaaan masyarakatnya sulit dan bahkan tidak
mampu mengenali potensi diri dan potensi SDA yang sebenarnya banyak
mereka miliki. Akibatnya banyak potensi yang tak termanfaatkan atau
mubasir, sementara kehidupan masyarakatnya memprihatinkan. Oleh karena
itu sering kita jumpai ironi dalam masyarakat ibarat ”ayam lapar di
lumbung padi” atau ” itik kehausan ditengah sungai”. Oleh karena itu
penyadaaran ini penting agar masyarakat desa tahu potensi, peluang,
ancaman dan tantangan di masa depan.
2. Pengorganisasian.
Satu sumber kesalahan yang paling mendasar dalam pengembangan
organisasi komunitas lokal adalah paternalisme.dari para perencana.
Ketika para perencana menemukan keadaan kelembagaan tradisional yang
lemah maka mereka secara refleksi memperkenalkan organisasi modern
dengan bentuk dan pola yang serba seragam dengan daerah lain. Padahal
organisasi modern tersebut belum tentu sesuai dengan karakteristik
masyarakat setempat. Alhasil banyak organisasi introduksi tersebut tidak
melembaga dalam masyarakat. Mungkin organisasi tersebut berhasil di
suatu tempat tetapi belum tentu berhasil di tempat lain.
Kelembagaan yang hakiki haruslah berawal dari prakarsa masyarkat
secara sukarela agar memudahkan mereka mengelola potensi sosial ekonomi
yang dimiliki. Kinerja kelembagaan lokal itu perlu dinilai kembali,
disempurnakan dan terus dimotivasi agar nilai-nilai dan norma yang
terkandung didalamnya dapat lebih hidup dan menjiwai kelembagan itu.
Seperti semangat ”Mapalus” dimasyarakat Minahasa, ”Sisaro” di Tana
Toraja, dll. Dengan demikian kelembagaan itu dapat berkembang menjadi
”biduk” bagi masyarakat menyongsong masa depan yang kina terbuka dan
kompetitif.
3. Kaderisasi pendampingan.
Setiap program pembangunan ada jangka waktu
pelaksanaannya. Selama progrma tersebut berjalam masyarakat
berpartisipasi aktif karena ada tujuan yang didapat didalamnya, misalnya
gaji/upah, kesempatan kerja yang bersifat jangka pendek. Namun setelah
pembanguna itu berakhir maka partisipasi masyarakatnya menurun bahkan
berangsur-angsur hilang karena tujuan semula sudah tidak ada lagi.
Oleh sebab itu sebelum pembangunan tersebut berkahir seharusnya
masyarakat dipersiapkan untuk melanjutkan memelihara dan mengembangkan
sendiri secara swadaya karena selama pelaksanan pembangunan tersebut itu
merupakan kegaitan investasi awal dari pemerintah atau swasta. Jadi
setiap pembangunan penting mempersiapkan kader-kader pengembangan
keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah
program berakhir. Ukuran keberhasilan kaderisasi adalah kemampuan kader
lokal untuk memerankan diri sebagai pendamping bagi masyarakat.
Disinilah peran strategis LSM lokal untuk melakukan pendampingan agar
partisipasi masyarakat terus tumbuh berkembang dalam mendukung setiap
pembangunan.
4. Dukungan teknis.
Pembaharuan dalam suatu masyarakat umumnya memerlukan bantuan teknis
dari suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya, informasi dan
teknologi yang dapat membantu mempercepat perubahan itu menjadi
kenyataan. Organisasi pendukung teknis sebaiknya dari insitusi yang
berkompten untuk itu seperti peneliti atau penyuluh atau aparat dinas
terkait atau juga tenaga profesional lainnya dari perusahaan swasta.
5. Pengelolaan Sistem.
Keterpaduan antar lembaga terkait sangat penting baik dalam hal
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan maupun dalam
hal pendanaannya. Disamping itu pengelolaan sistem dimaksudkan untuk
mensinergikan kepentingan antar lembaga yang terkait untuk itu
diperlukan korrdinasi yang baik agar tercipta sistem pengelolaan yang
baik.
2. Teknik Pemberdayaan Masyarakat
Menurut pengalaman pendampingan masyarakat seperti yang dilakukan
oleh P3AE-UI dkk. di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman
Gunung Betung Propinsi Lampung, pada tahap awal yang terpenting
dilakukan adalah membangun fondasi sosial karena fondasi sosial
merupakan kunci utama terhadap penumbuhan dan pembinaan masyarakat
terhadap aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu pendampingan sosial
sebaiknya lebih dahulu dilakukan sebelum kegiatan pendampingan yang lain
dalam rangka pemberdayan kelompok yang mandiri dalam mengelolah
sumberdaya hutan.
Dalam proses pemberdayaan juga terjadi proses belajar bersama dan
berusaha bersama memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Berikut ini adalah proses pendampingan yang dapat dilakukan dalam rangka
pemberdayaan masyarakat yang mandiri:
a. Membangun kedekatan
Kedekatan antara pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam
melakukan pendampingan. Hal ini dapat dipelajari dari pengalaman
kegagalan dalam pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal
karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bilamana ada
kepentingan kemudian meninggalkan desa dan masyarakatnya. Oleh karena
itu membangun kedekatan adalah sangat penting, dan berarti para
pendamping harus tinggal bersama-sama masyarakat.
b. Membangun pertemanan
Dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan
pemdamping. Hal ini bisa terjadi karena pendamping hidup bersama-sama
masyarakat. Mewujudkan pertemanan bukanlah hal yang mudah, oleh karena
itu baik pendamping maupun masyarakat harus memahami prinsip-prinsip
pertemanan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh P3AE-UI dkk. dalam
pendampingan masyarakat antara lain adalah kesetaraan, demokrasi dan
keadilan. Kesetaraan artinya semua individu mempunyai status atau
derajat yang sama, tidak membeda-bedakan antara pendamping dengan
masyarakat maupun antar individu di dalam masyarakat. Demokrasi artinya
semua mempunyai hak yang sama, hak untuk mengemukanan pendapat,
mengungkapkan permasalahan dan menyampaikan keinginan. Sedangkan
keadilan artinya mereka mempunyai kewajiban dan hak yang sama dalam
memecahkan masalah dan mewujudkan keinginan bersama.
Suatu hal yang sangat perlu ditumbuh kembangkan dalam pertemanan
adalah rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama
teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Senasib
sepenanggungan karena mereka mempunyai permasalahan dan keinginan yang
sama. Saling menjaga, saling menghormati dan saling memberi toleransi
kerena pada dasarnya mereka terdiri dari individu-individu yang berbeda.
c. Membangun kepercayaan
Kepercayaan tidak dapat dibangun hanya dengan janji-janji belaka.
Akan tetapi kepercayaan dapat dibangun dengan cara menunjukan kenyataan
bahwa apa yang diucapkan itulah yang kemudian dilakukan. Untuk itu dalam
melakukan pendampingan hendaknya menghindari ucapan janji-janji, dan
mengutamakan upaya berbuat bersama antara pendamping dan masyarakat.
Membangun kepercayaan adalah sangat penting karena rasa saling percaya
merupakan pilar utama dari semua interaksi antar individu maupun
kelompok dalam masyarakat. Dengan rasa saling percaya kita dapat
menciptakan kedekatan, keterbukaan, kerjasama, kelompok dan kelembagaan.
d. Membangun keterbukaan.
Keterbukaan diperlukan dalam mengungkapkan masalah yang dihadapi,
keinginan yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta
kekurangan yang ada. Keterbukaan ini tidak akan dapat dilakukan apabila
sebelumnya tidak ada kedekatan dan rasa saling percaya.
Perlu disadari bahwa di dalam pendampingan terkandung kegiatan
identifikasi masalah dan potensi yang terdapat di dalam masyarakat.
Melalui membangun keterbukaan inilah sebenarnya proses identifikasi
tersebut berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Berdasarkan hasil
identifikasi masalah dan potensi yang diungkapkan oleh masyarakat dengan
cara keterbukaan tadi, kemudian pendamping bersama-sama masyarakat
dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya mereka memiliki masalah yang
sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat
diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut.
e. Membangun kerjasama
Masing-masing individu dalam masyarakat pada tahap ini sudah
mengetahui bahwa mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama
pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai
keinginan bersama tersebut. Akan tetapi potensi yang mereka miliki tidak
mungkin dapat diberdayakan untuk memecahkan masalah dan mencapai
keinginan apabila potensi tersebut masih terpecah-pecah pada
masing-masing individu.
Pada tahap inilah saatnya seluruh masyarakat bersama-sama pendamping
memikirkan perlunya membangun kerjasama. Dalam membangun kerjasama ini
mereka secara lebih nyata dituntut memahami dan melaksanakan
prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, keadilan, dan pertemanan yang
meliputi rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara
sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi.