Entri yang Diunggulkan

Faedah ke satu

  Ngomongin soal wasiat, aku malah kepikiran wasiat Pendekar wanita cantik dalam film "The Kungfu Cult Master" dari Sekte Ming yan...

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 05 Desember 2013

Penguatan Partisipasi Kelompok

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK MASYARAKAT 

By : Jie D. Rahman


A. DEFINISI PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pengembangan masyarakat dapat ditinjau dari sisi (a) proses, (b) metode, (c) program, (d) gerakan, (e) sistem, dan (f) bidang studi. Pengembangan Masyarakat (PM) adalah pendekatan yang sangat peduli terhadap pendamping dan pengembangan manusia dengan menggunakan secara efektif baik inisiatif maupun energi lokal dalam rangka memperkembangkan produktivitas dan standar kehidupan menjadi lebih baik. Jadi, Pengembangan Masyarakat adalah kegiatan/aksi sosial yang menempatkan manusia/masyarakat sehingga mereka dapat:
Mengorganisir diri untuk dapat merencanakan dan berkegiatan
Mendefinisikan/merumuskan kebutuhan dan problem individual dan umum
Membentuk kelompok dan perencanaan sendiri sehingga mampu menjawab
kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang ada
Mengoptimalkan kemampuan, inisiatif dan energi yang dimiliki
Menjalin kerjasama dengan kelompok lain
Apa Tujuan Pengembangan Masyarakat?
Membantu masyarakat menemukan cara/jalan untuk mengorganisirkan diri
Mendampingi masyarakat mampu membuat perencanaan (secara teknis dan aksi)
agar masyarakat semakin berkembang dan maju.
Jadi, arah/tujuan PM adalah terbentuknya Organization for Action (FA); maka perlu
diupayakan:
Adanya teknik/kiat/cara yang mempermudah masyarakat melakukan aksi
Berlangsungnya proses demokratisasi
Semakin banyak orang berpartisipasi
Metode sederhana sehingga orang-orang dapat berdiskusi dengan mudah
Bagaimana (caranya) tujuan itu dapat di capai?
Masyarakat harus semakin mampu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan
Masyarakat semakin mampu menentukan prioritas dari kebutuhan dan permasalahannya
Masyarakat semakin mengetahui sumber daya yang memilikinya
Semakin banyak pemimpin dan kader lokal muncul.
Apa Prinsip dan Filosofi Pengembangan Masyarakat ?
Semua kegiatan/aksi harus bercorak bottom up.
Partisipatoris (dan demokratis).
Asistensi (teknik-teknik pemecahan masalah).
Kepemimpinan local.
Akseleratif.
Humanistis.
Bagaimana Memahami Pengembangan Masyarakat ?
Fokus PM ialah komunitas masyarakat dan keluarga.
PM sebagai proses mencermati apa yang (sedang) terjadi dalam masyarakat baik
secara sosiologis maupun psikologis.
PM sebagai metode menekankan teknik-teknik yang dapat dipergunakan.
PM sebagai program berarti fokus perhatian lebih pada keseluruhan kegiatan.
PM sebagai gerakan, artinya terfokus pada kegiatan tertentu yang paling relevan saat
ini (kontekstual).
PM sebagai bidang studi mengarahkan analisis kepada bagaimana memperkembangkan aspek-aspek kemanusiaan.
Mengapa kegiatan Pengembangan Masyarakat itu justru harus bercorak variatif/tidak
sama dari satu tempat ke tempat lain
Variasi dipengaruhi oleh faktor-faktor :
Tidak ada dua komunitas itu sama
Perbedaan cara memakai sesuatu/segala sesuatu
Perbedaan level partisipasi
Kebijakan pemerintah (yang cenderung seragam)
Aras dan praktek demokrasi
Latar belakang pendidikan
Kebutuhan keluarga dan/atau komunitas berbeda-beda
 
B. MENGENAL PRINSIP-PRINSIP PARTISIPATIF DALAM PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Prinsip-Prinsip Partisipatif
Konsep partisipasi sebagai sebuah pendekatan dalam program pembangunan
masyarakat sebenarnya sudah muncul pada awal tahun 1980-an. Persoalannya adalah
dalam pelaksanannya terjadi penyimpangan makna. Partisipasi hanya digunakan sebagai
label terhadap peran serta masyarakat, tanpa menyentuh pada substansi peran serta itu
sendiri. Peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan misalnya, cukup
hanya dilihat pada kehadiran dan persetujuan atas segala keputusan yang telah ditentukan
sebelumnya. Peran serta dalam proses politik, cukup berupa kampanye dan pemungutan
suara.
Apa Sebenarnya Pengertian Partisipasi Itu?
Beberapa ahli mendefinisikan partisipasi sebagai berikut:
“Partisipasi adalah gerakan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan,
dalam pelaksanaan kegiatan, ikut menikmati hasil dari kegiatan tersebut, dan ikut serta
dalam mengevaluasinya. “(Upholf, 1992).
“Partisipasi adalah suatu proses di mana berbagai pelaku (stakeholders) dapat
mempengaruhi serta membagi wewenang dalam menentukan inisiatif-inisiatif pembangunan,
keputusan serta pengalokasian berbagai sumber daya yang berpengaruh terhadap mereka.
“(Bank dunia, 1994).
Pengembangan Masyarakat menggunakan pendekatan partisipatif, mengingat
beberapa manfaat dalam program berupa: efisien, efektif, menjalin kemitraan,
memberdayakan kapasitas, memperluas ruang lingkup, meningkatkan ketepatan kelompok
sasaran, berkelanjutan, memberdayakan kelompok marjinal dan meningkatkan akuntabilitas.
Meskipun disadari bahwa dengan pendekatan ini, membutuhkan biaya yang besar dan
lambatnya proses pengambilan keputusan.
Pertama, partisipasi akan mendukung keberhasilan dari pelaksana program yang
didampingi. Kedua, memperoleh legitimasi dari masyarakat. Untuk itu, kemauan politik
(political will) dari pemerintah daerah sangat diperlukan. Dalam pelaksanaannya, proses
partisipatif seharusnya dimulai sejak identifikasi & analisis stakholders, konsultasi tingkat
daerah, penyusunan program pembangunan (strategi program, program investasi, program
pembiayaan, dan program pengembangan kelembagaan), penguatan forum NGOs dalam
pengawalan aspirasi masyarakat dalam perencanaan, hingga monitoring dan evaluasi.
Melalui rangkaian panjang tersebut di atas, proses dan mekanisme perencanaan
partisipatif diharapkan selalu muncul dalam setiap penggalian aspirasi & kebutuhan,
konsultasi, penyepakatan, dan pengambilan keputusan. Aktor-aktor yang terlibat meliputi
masyarakat, pemerintah daerah, dan unsur-unsur lain yang terlibat dalam kegiatan
pengembangan masyarakat, dimana program/proyek dilaksanakan.
Keuntungan-keuntungan partisipasi antara lain :
a. Mampu merangsang timbulnya swadaya masyarakat, yang merupakan dukungan
penting bagi pembangunan.
b. Mampu meningkatkan motivasi dan ketrampilan masyarakat dalam membangun.
c. Pelaksanaan pembangunan, semakin sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat.
d. Jangkauan pembangunan menjadi lebih luas, meskipun dengan dana yang terbatas.
e. Tidak menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah dan pihak lain.
Prinsip-prinsip yang dipaparkan di atas adalah basis untuk mengembangkan pendekatan
dan strategi yang partisipatif sesuai dengan kondisi lokalitas dan komunitas. Dengan kata
lain, prinsip-prinsip dalam pedoman buku ini bukan “Petunjuk Pelaksanaan” tetapi suatu
landasan berfikir untuk mengembangkan kreatifitas semua stakeholders dalam upaya
mengembangkan partisipasi dan aspirasi masyarakat.


Pengembangan Partisipasi dan Aspirasi Masyarakat Berbasis Komunitas dan Lokalitas
Konsep “komunitas” mengandung makna adanya “keterkaitan” yang tidak hanya
secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosiologis. Terutama pada tingkat
pengambilan keputusan, upaya pengembangan masyarakat akan menciptakan beragam
“keterkaitan” yang berhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu sistem
kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap kehidupan komunitas. Tingkat lokalitas
dicirikan oleh kesatuan komunitas yang memiliki relasi sosial dan ekonomi, dengan pusat
interaksi sebagai pusat pertumbuhan. Tingkat kelompok, sebagai kesatuan masyarakat yang
mengidentifikasi diri berdasarkan karakteristik tertentu, seperti lingkup pekerjaan,
kekerabatan, jender dan sebagainya. Sedangkan lingkup organisasi yang lebih kecil adalah
rumah tangga. Organisasi ini tunduk pada pengaruh dari ketiga tingkat operasional di
atasnya. Lebih dari itu, beragam keterkaitan tersebut merupakan representasi dari “hubungan
kelembagaan” antar seluruh stakeholders dalam suatu kawasan tertentu.
Dalam konteks ini, konsep lokalitas” mengandung pengetian pertama “ikatan sosial”
yang berlandaskan teritorial dimana masyarakat di kawasan tersebut hidup dalam suatu
lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua “ikatan sosial” berdasarkan lingkup
pekerjaan (profesi) dimana hubungan antar anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai
intensitas interaksi yang tinggi dalam suatu waktu tertentu; ketiga “ikatan sosial” yang
dibangun berdasarkan jaringan sosial (social networking) sebagai nilai tambah dari modal
sosial (social capital) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat. Dengan
demikian, secara sosiologis upaya pengembangan masyarakat perlu “didekati” dengan
pengembangan berbasis lokal yang menjalin “ikatan sosial” antara tingkat kelompok,
komunitas dan lokalitas.
Dengan demikian, pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat relevan
dilakukan dengan pendekatan “pengembangan masyarakat” (“masyarakat” dipahami sebagai
masyarakat di tingkat komunitas dan lokalitas serta hubungan diantaranya). Oleh karena itu,
istilah pengembangan masyarakat memiliki ruang lingkup yang relatif luas. Conyer
mengajukan tiga komponen pendekatan pengembangan masyarakat. Pertama, adanya
penekanan yang diarahkan pada fungsi kemandirian, termasuk sumber-sumber dan tenaga
setempat serta kemampuan manajemen lokal. Kedua, penekanan pada penyatuan
masyarakat sebagai suatu kesatuan; terlihat dari adanya pembentukan organisasi-organisasi
lokal termasuk di dalamnya lembaga-lembaga yang bertanggung jawab masalah administrasi
atau suatu bentuk lembaga masyarakat. Ketiga, keyakinan umum mengenai situasi dan arah
perubahan sosial serta masalah-masalah yang ditimbulkannya. Aspek khusus dalam
perubahan sosial yang menjadi pemikiran pokok berbagai program pembangunan
masyarakat, yaitu adanya ketimpangan baik di dalam maupun di antara komunitas-komunitas
tersebut.
Organisasi-organisasi pengembangan masyarakat (lokal dan pendatang) disertakan
dalam usaha-usaha kelompok-kelompok akar rumput (grassroots) untuk merevitalisasi
kelompok masyarakat ketetanggaan yang berpendapatan rendah dan menengah melalui
pembangunan perumahan, simulasi ekonomi, pelatihan dan konsultasi kerja. Semakin lama,
usaha-usaha ini terjadi dalam bentuk kerjasama antara beragam stakeholders dan
pemerintah lokal.
Melalui pendekatan dan strategi “pengembangan masyarakat”, diharapkan
pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung secara dinamis sesuai dengan kondisi sosio
budaya, politik dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat
terentang dari upaya perjuangan yang lebih luas untuk memperoleh kebebasan sampai
dengan memperoleh kesempatan mengembangkan diri. Dengan demikian pemberdayaan
masyarakat tidak saja berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, pengembangan
sumber daya manusia, atau perubahan kerangka institusi, tetapi juga berkaitan dengan
pengembangan kapasitas masyarakat untuk melepaskan diri dari perbedaan-perbedaan
rasial ketidak-seimbangan kelas dan jender, dan menghapuskan penindasan mayoritas.
Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat menyangkut berbagai pendekatan “manusiawi”
untuk mencapai sasaran program pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Artinya, standar-standar hidup layak, tetapi dengan cara-cara yang “pantas” dilihat dari
perspektif peningkatan kapasitas masyarakat.
Membangun dan Mengembangkan Jejaring Sosial sebagai Wahana Pengembangan
Partisipasi dan Aspirasi Masyarakat
Dalam konteks pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat, pengembangan
jejaring perlu dilandasi pada pemahaman terhadap sistem relasi antar stakeholders yang
berbasis komunitas dan lokalitas. Dalam hal ini asumsinya adalah stakeholder memiliki
konsep/pemahaman yang sama mengenai pengembangan jejaring. Dengan kata lain, perlu
dibangun pemahaman bersama diantara stakeholder mengenai jejaring sosial.
Untuk pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat, perguruan tinggi, LSM,
dan stakeholders yang lain dapat berperan serta melalui pendekatan jejaring pengembangan
kelompok-kelompok usaha produktif dengan mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai
stakeholders sebagai suatu bentuk pengembangan modal sosial (social capital). Disamping
itu, pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif karena sampai sejauh ini pengembangan
tersebut memerlukan transaction cost yang tinggi.
Salah satu alternatif adalah pengembangan jejaring tersebut dengan pendekatan
jejaring kelembagaan kolaboratif mulai dari tingkat komunitas sampai dengan tingkat
lokalitas. Implementasi prinsip-prinsip kesetaraan, lebih bersifat informal, partisipasif, adanya
komitmen yang kuat, dan mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada sangat membantu
memecahkan permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya pengembangan usahausaha
ekonomi produktif di pedesaan.
Pengembangan partisipasi dan aspirasi melalui kegiatan usaha-usaha produktif yang
berbasiskan kepada komunitas dan lokalitas diharapkan dapat melibatkan stakeholders yang
lain (kelembagaan kolaboratif), seperti organisasi pemerintah. Keberhasilan jejaring sebagai
media untuk perumusan policy menjadi sangat penting tetapi ini semua tergantung kepada
komitmen semua stakeholders dalam jejaring tersebut.
Terdapat beragam institusi di pedesaan. Meskipun sangat sedikit jumlah yang
bergerak dalam usaha-usaha produktif yang berbasis pada komunitas dan telah melembaga,
(baik disektor pertanian maupun non pertanian). Jejaring kelembagaan kolaboratif yang akan
dikembangkan harus mampu menjalin hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan di antara
institusi-institusi tersebut. Oleh karena itu, sistem jejaring yang terbentuk perlu
mempertimbangkan mekanisme yang ada pada sistem tradisional, karena mereka yang akan
menyaring penduduk yang ingin masuk dan dia yang akan menghambat pasar untuk
dihapus, sehingga masyarakat tidak mengalami kesengsaraan. Hal-hal demikian perlu diingat
dalam membangun jejaring yang ada.
Dalam hal pendanaan kegiatan produktif di kawasan transmigrasi, peranan
pemerintah lokal lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur. Pemerintah
lokal perlu mengalokasikan dana untuk masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di
kawasan ini. Dalam hal ini penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan, bahwa dimulai dengan
penguatan kelembagaan dan alokasi dana. LSM yang bergiat dalam pemberdayaan
masyarakat bisa melengkapi kegiatan usaha-usaha produktif di pedesaan.
Apabila dilandasi dengan respon yang baik serta prinsip-prinsip partisipatoris maka
hasil pemikiran stakeholders di tingkat lokal atau nasional perlu dikembalikan pada jejaringan
di tingkat komunitas dan lokal, sehingga rumusan-rumusan dari jejaring ini perlu mendapat
tanggapan dari seluruh masyarakat di pedesaan. Jaringan informasi berbasis komunitas
tersebut tidak harus diformalkan.
Peranan Pemerintah Lokal sebagai Fasilitator dalam Pengembangan Partisipasi dan
Aspirasi Masyarakat
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendampingan merupakan bagian
integrasi dari proses membangun dan memberdayakan masyarakat. Oleh karen itu, seorang
pendamping atau Fasilitator atau Community Organizer (CO) tidak sekedar dituntut untuk
menguasai teknik tertentu untuk memfasilitasi, tetapi juga harus mampu membangun
kemampuan stakeholder lainnya mengenali konteks program secara keseluruhan. Aksi-aksi
bersama stakeholder lainnya harus didasarkan pada pemahaman yang sama tentang visi ke
depan dari suatu program dan dengan demikian mereka dapat membangun struktur
hubungan yang diperlukan dalam rangka mencapai hasil yang dikehendaki.
Fasilitator dan CO adalah bagian integral dari pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat dan fasilitator mengemban misi kemanusiaan. Fasilitator pada hakekatnya
menempatkan diri sejajar dengan pihak lain, sebagai landasan adanya kepercayaan. Oleh
karena dasarnya adalah moral, maka konteks pendampingan tidak terbatas pada subtansi
program dimana seseorang ditugaskan. Bahkan program itu sendiri merupakan sarana untuk
berempati. Fasilitator hendaknya berempati dalam segenap kebutuhan yang melingkupi
“mitra kerja”. Dengan demikian, fasilitator adalah orang yang mempunyai pengalaman dan
mengabdikan diri untuk suatu pekerjaan khusus dan purna waktu berdasarkan pengetahuan
yang diperlukan.
Dengan pemahaman bersama mengenai sistem relasi antar stakeholders tersebut
maka lingkup profesionalisme fasilitator perlu dilakukan. Pertanyaannya adalah, sub sistem
manakah dari sistem relasi di pedesaan akan difasilitasi oleh fasilitator? Ini berkenaan
dengan kebutuhan memfasilitasi. Kedua sub-sistem relasi dan kebutuhan memfasilitasi akan
bersilangan dengan pilihan pendekatan pendampingan yang akan dilakukan yakni (1)
pendekatan menolong diri sendiri (self help) (2) pendekatan pemenuhan kebutuhan itu (3)
pendekatan konflik.
(1) Pendekatan Pertama adalah menolong diri sendiri
Masyarakat di pedesaan menjadi partisipan yang berarti dalam proses pembangunan
dan melakukan kontrol dalam kegiatan pengembangan. Pendamping menjadi
fasilitator. Sedangkan komunitas (petani) memegang tanggungjawab utama dalam :
(1) memutuskan apa yang menjadi kebutuhannya (2) bagaimana memenuhi
kebutuhan itu (3) mengerjakannya sendiri.
(2) Pendekatan Kedua adalah pendampingan teknik:
Yang mendasarkan pada perkiraan kebutuhan oleh para perencana yang dapat
mengantarkan dan mengevaluasi proses pengembangan masyarakat. Perencana
seolah-olah ditugasi oleh masyarakat setempat untuk mengembangkan sikap
rasionalitas mereka. Pengembangan masyarakat dari perspektif ini bersifat spesifik
mencakup pengembangan teknik pengelolaan jejaring sosial.
(3) Pendekatan Ketiga adalah pendekatan konflik:
Pendekatan ini menekankan pada usaha-usaha untuk menyadarkan masyarakat di
pedesaan bahwa apa yang baik dilakukan oleh orang lain adalah baik juga untuk
dilakukannya. Oleh karena itu anggota komunitas akan berusaha untuk berbuat yang
sama dengan referensi grupnya. Dalam konteks pengembangan partisipasi dan
aspirasi masyarakat, maka pendampingan dilakukan dengan teknik propaganda
sedemikian rupa sehingga warga desa menyadari apa yang menjadi
ketertinggalannya dengan warga lain.
Adanya kemampuan diri sendiri dan berfungsinya pendampingan akan
mengefektifkan pendekatan ketiga, yakni pendekatan konflik dalam pengertian
memacu persaingan yang sehat pada setiap organisasi warga desa. Salah satu
bentuk persaingan itu misalnya dalam satu kelompok masyarakat, berwujud bantuan
dana pendampingan sebesar jumlah dana yang telah dimiliki oleh sekelompok, atau
membantu membiayai penuh setengah dari luas lahan yang digarapnya, yang
diharapkan berdampak pada penggunaan dana sendiri (swadana) bagi lahan sisa.
Dengan kata lain, bantuan dalam bentuk sarana berorganisasi atau sarana produksi
atau sumbangan dalam bentuk natura lainnya yang menunjang kinerja kelompok yang
telah menunjukkan kemajuan awal.
Strategi konflik yang lain yang dapat dipakai adalah menjelaskan standar-standar
yang harus dicapai oleh anggota komunitas untuk mencapai kebutuhan normatif, dan
mengajak komunitas untuk secara bersama-sama mencari jalan keluar untuk
mencapai standar normatif itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka memfasilitasi merupakan bagian dari suatu proses
pendampingan. Istilah memfasilitasi mencakup mengantarkan warga desa ke dalam pola
perilaku pertanian modern, serta memberikan pelayanan teknis maupun material, yang
secara ekologis melaksanakan prinsip-prinsip sustainability. Tindakan fasilitasi yang
diberikan merupakan hasil dari proses pendampingan yang langsung dalam jangka waktu
yang relatif lama dan kontinyu. Atas dasar kegiatan pendampingan dalam kurun waktu
tertentu itu maka pendamping dapat memilah-milah mana yang menjadi prioritas untuk
difasilitasi, pilihan pendekatan dan pilihan teknik pengembangan partisipasi dan aspirasi
masyarakat di kawasan tersebut.
Kebutuhan yang paling mendasar dalam pendampingan adalah meletakkan konteks
pendamping. Oleh karena dalam beberapa aspek bukanlah hal baru bagi stakeholders, maka
intensitas pendampingan akan berbeda untuk setiap jenis kegiatan dalam upaya
pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat di kawasan tersebut. Peranan
pendamping yang tak kalah pentingnya adalah memfasilitasi berbagai stakeholders, baik
yang dapat dikategorikan ke dalam public sector, private sector, maupun collective action
sector. Misalnya, sampai sejauh mana dan bagaimana peranan pendamping dalam
"menjembatani" berbagai stakeholders yang seharusnya mampu menciptakan
'keseimbangan dinamis" antara community based development dan local government
policies dalam rangka mendukung upaya pengembangan komoditas unggulan lokal.

Pentingnya Penguatan Kelembagaan Warga


By : Jie D. Rahman
TNP2K Kec. Paciran- Lamongan

Sejarah mencatat ,pola-pola pembangunan sentralistis secara sistematis mampu mematikan inisiatif dan institusi masyarakat ( lokal )yang ada.Hal ini ditandai dengan di berlakukanya penyeragaman bentuk institusi dari atas ke bawah,dari pusat ke daerah. Berbagai institusi yang berbeda degan yang di berlakukan ,meski memiliki basis kuat di tingkat masyarakat akar rumput,tidak mendapat pengakuan secara legal formal.Demikian pula halnya segala bentuk aliansi atau jaringan ( networking ) kersaja sama antara institusi masyarakat akar rumput tersebut.
Dominasi terpusat dari pihak luar atas segala aspek kehidupan masyarakat demikian kuatnya sehingga memperlemah kedudukan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan .Berbagai institusi yang di maksudkan sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan suatu peroyek pembangunan,pada kenyataanya lebih mengutamakan kepentingan pemilik atau pelaksana peroyek,tampa memiliki tanggung jawab moral yang kuat terhadap kepentingan masyarakat miskin itu sendiri.singkatnya,institusi bentukan tersebut baru sebatas organ peroyek , dan belum mewujud menjadi institusi yang benar - benar menjadi tumpuan aspirasi,inisiatif,maupun kontrol masayrakat terhadap masalah kemiskinan dan pembangunan di wilayahnya.
Masyarkat akhirnya benar-benar menjadi objek dan bukan lagi pelaku utama serta pemilik kedaulatan,melainkan hanya di jadikan pengikut dari golongan atau elit-elit tertentu yang bertingkah laku sebagai pemilik kedaulatan,perpecahan masyarakat dalam golongan -golongan semakin tajam,seiring semakin memudarnya perekat kehidupan masyarakat dalam bentuk tatanan nilai luhur setempat, baik yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan maupun nilai -nilai kemasyarakatan.
Pudarnya perekat berupa tatanan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyrakatan tersebut yang pada akhirnya menumbuhkan kondisi lemahnya atau ketidakberdayaan posisi masyarakat ,lunturnya solidaritas dan kesatuan sosial yang menyebabkan pengkotak - kotakan masyarakat untuk kepentingan golongan atau elit-elit tertentu saja.serta hilangnya kedaulatan rakyat secara nyata.maka tidak mengherankan kalau kemiskinan meraja lela disebabkan terjadinya konsenterasi kekuasaan dan sumber daya elit-elit tertentu saja.situasi ini diperburuk dengan terjadinya kerisis berkepanjangan yang melanda indonesia ,yang tidak sajah menambah jumlah penduduk miskin ,yang akhirnya meninkatkan kerawanan sosial dan mempercepat peroses fragmentasi masyarakat.
Dalam situasi seperti ini ini , maka kehadiran masyarakat warga (civil society ) menjadi tidak saja penting, tetapi sangat urgen sebagai suatu tatanan baru hidup bermasyarakat,dimana masyrakat berhimpun atas perakarsa sendiri,bekerja sama dan secara damai berupaya memenuhi kebutuhan atau kepentingan bersama, dengan tetap menghargai hak orang lain untuk berbuat yang sama dan tetap mempertahankan kemerdekaannya ( otonomi ) terhadap institusi pemerintah,politik,meliter,agama,usaha/pekerjaan dan keluarga.Tatanan baru hidup bermasyarakat tersebut tumbuh berkembang kembali berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan.
Sejak masa reformasi di mulai ,banyak upaya dari berbagai pihak untuk memulihkan kembali kedudukan dan peran masyarakat dalam tatanan berbansa dan bernegara serta menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance ) upaya -upaya tersebut diwujudkan dalam bentuk membangun masyrakat warga (civil society ) sebagai jawaban atas lemahnya atau ketidak berdayaan posisi masyarakat,lunturnya solidaritas dan kesatuan, serta hilangnya kedaulatan rakyat secara nyata dalam pembangunan bangsa dan negara.
Untuk mengemudikan himpunan warga tersebut agar mencapai tujuan yang di harapkan dan tetap mempertahankan keberadaanya sebagai himpunan masyarakat warga yang otonom,maka di perluka pemimpin,Agar kepemimpinen yang otoriter dan sekaligus juga mampu menjadi suri tauladan bagaimana praksis bekerja sebagai kelompok (tim ) maka dipililah pola kepemimpinan kolektif yang secara generik di sebut BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat )jadi tampa BKM jelas warga ini akan kehilangan kemudi.(jie)

Rabu, 04 Desember 2013

KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ?

Oleh: Jihadur rahman
Pendamping UPPKH Kab. Lamongan
 
Sebelum kita berbicara lebih lanjut, ada baiknya kita selintas memahami apa sesungguhnya konsep kemiskinan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Konsep “pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep pembangunan dan sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan. Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya. 
Perubahan ini telah mempengaruhi isi Laporan Indeks Pembangunan Manusia (Human Index Development) yang setiap tahun dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).  Organisasi ini  menyatakan “pembangunan seharusnya dianyam oleh rakyat bukan sebaliknya menjadi penonton pembangunan dan seharusnya pula pembangunan memperkuat rakyat bukan justru membuat rakyat semakin lemah”.
 
Pemberdayaan menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan selama ini.  Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa perang dunia kedua,  ternyata pembangunan membuat orang semakin miskin atau jumlah orang miskin semakin banyak. Gagasan modernisasi pun rontok karena tidak mampu meneteskan hasil- hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin, pun semakin diakui bahwa pemerintah ternyata tidak mampu mengentaskan kemiskinan dan konyolnya pembangunan juga merusak lingkungan hidup.
 
Sedangkan Chambers (1983) berpandangan kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi – berlokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi, kurangnya nasehat dari penyuluh pertanian, kehutanan dan kesehatan serta pada banyak kasus juga ditandai dengan ketiadaan sarana bepergian.  Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka tidak memiliki sistem penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan cara menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi, barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan bantuan hukum bagi mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan mereka pun tidak memperoleh pelayanan publik yang optimal.
 
Kemiskinan kemudian lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan akses pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup.
Dalam pengertian yang lebih generik, pemberdayaan komunitas berarti penguatan makna dan realitas dari prinsip-prinsip inklusivitas (seperti bagaimana melibatkan para pihak yang relevan dalam suatu proses), transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (yang memberikan legitimasi pada setiap proses pengambilan keputusan). Konsep ini melampaui hiruk pikuk masalah pembangunan dan demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan partisipasi tetapi bagaimana memberikan kesempatan pada anggota komunitas (termiskin, terpinggirkan) untuk memahami realitas lingkungannya (sosial, politik, ekonomi, politik, dan kebudayaan) dan merefleksikan faktor-faktor yang membentuk lingkungan mereka dan menentukan langkah- langkah perubahan untuk memperbaiki situasi mereka.
 
Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyasrakat.  Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan. Menemu kenali elemen-elemen atau kondisi yang dibutuhkan bagi pemberdayaan menjadi kebutuhan utama dalam memahami manifestasi konkrit pemberdayaan di tingkat basis.  Elemen- elemen pemberdayaan termasuk diantaranya, Swadaya dan otonomi lokal dalam proses pengambilan keputusan masyarakat di tingkat desa, dan partisipasi demokrasi langsung dalam proses kepemerintahan representatif yang lebih luas.  Ini akan memungkinkan masyarakat menggunakan kapasitasnya untuk memanfaatkan jasa informasi, berlatih memikirkan masa depan, melakukan eksperimen dan inovasi, berkolaborasi dengan orang lain, dan mengeksploitasi kondisi-kondisi serta sumberdaya-sumberdaya baru; Penyediaan ruang bagi masyarakat untuk menegaskan kebudayaan serta kesejahteraan spiritualnya, dan pembelajaran sosial yang bertumpu pada pengalaman, termasuk pengungkapan dan penerapan kearifan lokal, di samping pengetahuan teoritis dan ilmiah; Akses terhadap tanah dan sumberdaya lainnya, pendidikan untuk perubahan, dan fasilitas perumahan serta kesehatan; Akses terhadap pengetahuan dan ketrampilan (dari dalam maupun dari luar) untuk mempertahankan kekayaan alam secara konstan dan kapasitas alam menerima buangan; kedua, akses terhadap latihan ketrampilan, tehnik- tehnik pemecahan masalah, dan teknologi serta informasi tepat guna yang ada, sehingga pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki bisa dimanfaatkan; dan ketiga, partisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan oleh semua orang, terutama perempuan dan kelompok-kelompok yang pinggiran. Elemen-elemen pemberdayaan di atas merupakan apa yang dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya perubahan.
Pembangunan yang bertumpu pada komunitas hendaknya berakar pada prinsip-prinsip berikut,  kedaulatan, kebebasan, dan demokrasi melalui partisipasi politik yang luas. Komunitas lokal mengontrol sendiri sumberdayanya dan memiliki akses memadai pada informasi. Membangun suatu sistem nilai yang konsisten sesuai dengan perikehidupan komunitas dan hubungan mereka dengan alam dan sumberdayanya. Membangun semangat gotong royong di antara anggota komunitas untuk membangun masa depan bersama.
 
Pemberdayaan pada akhirnya memberikan kepada komunitas yang paling miskin dan terpinggirkan kapasitas yang sesungguhnya agar mampu menyesuaikan diri dengan  perubahan lingkungan baik sebagai masyarakat maupun komunitas. Transisi ini membutuhkan kesadaran sosial, partisipasi sosial yang lebih tinggi, pemanfaatan pemahaman baru atas proses ekologi perubahan dan pembaruan diri. Tekanan terbesar dalam proses pemberdayaan dalam pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan adalah pemberdayaan sosio-ekonomi, pemberdayaan politik, pemberdayaan pendidikan, pemberdayaan teknologi dan pemberdayan kebudayaan atau spiritual. Pemberdayaan sosio-ekonomi ini akan mendorong individu dan komunitas memperoleh tanggung jawab bersama menentukan masa depannya dan menjadi manajer perubahan yang diinginkan.
Kesimpulannya pemberdayaan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses dan pilihan-pilihan seperti ruang kebudayaan dan spiritual, pengakuan dan validasi pada pengetahuan lokal,  pendapatan, kredit, informasi, training, dan partisipasi pada proses pengambilan keputusan.
 
Dalam usaha mengentaskan kemiskinan di pedesaan, selama ini telah ada tiga strategi yakni (1) strategi pusat-pusat pertumbuhan yang mendorong investor membangun industri di wilayah-wilayah tertentu agar generasi pencari kerja tertarik ke pusat pertumbuhan ini, (2) strategi pemukiman kembali, dan (3) pembangunan desa terpadu. Ketiga pendekatan ini telah gagal melakukan pemberdayaan rakyat miskin dan mengentaskan kemiskinan. Karena, mereka tidak memiliki suatu proses untuk belajar dari kaum termiskin tentang kebutuhan, aspirasi dan pengetahuan mereka. Ketiga pendekatan di muka pun gagal memberikan peluang kepada kaum miskin masalah dasar mereka. Pemberdayaan bukan mengulang kesalahan 3 strategi di muka!

Minggu, 01 Desember 2013

KUBE (Kelompok Usaha Bersama) Sebagai Model Untuk Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat


Dr. Oetami Dewi dari Kementerian Sosial Republik Indonesia RI
Masalah sosial yang selalu dihadapi bangsa dan negara ini sejak dulu adalah   kemiskinan dan  kebijakan yang diambil untuk mengatasinya melalui program penanggulangan kemiskinan. Apapun nama programnya yang terpenting adalah mampu memenuhi kebutuhan sosial dasar masyarakat miskin.  Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan program penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), khususnya Repelita I-IV dilalui melalui  program sektoral dan regional. 
Keberadaan lembaga koordinasi penanggulangan kemiskinan diawali dari program-program penanggulangan kemiskinan yang bersifat sektoral, seperti Kelompok Usaha Bersama atau KUBE dari Kementerian Sosial yang dulu bernama Departemen Sosial. 
Kube dimulai sejak tahun 1982, kemudian Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera dari BKKBN, dan Program Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil atau P4K dari Departemen Pertanian. Pada tahun 1990 dimunculkan Program Pengembangan Wilayah (PPW). 
Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1990, PPW adalah program pengembangan wilayah yang dilaksanakan secara terpadu dengan pendekatan perwilayahan dan ditujukan untuk mengembangkan wilayah yang bersifat khusus secara lintas sektoral dan dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang bersangkutan. 
Pendekatan PPWT ini pada hakekatnya merupakan upaya penanggulangan di wilayah-wilayah khusus di perdesaan dan permukiman kumuh perkotaan yang bersifat lintas sektoral dan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah yang relatif tertinggal. 
Kebijakan khusus melalui Program Pengembangan Wilayah (PPW), dikembangkan lagi menjadi Pembangunan Kawasan Terpadu (PKT), Program Pengembangan Kawasan Khusus (PPKK), dan program-program penanggulangan kemiskinan seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di desa-desa tertinggal. Saat ini ada keberpihakkan khususnya untuk didaerah perbatasan.
 Program Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial
Sejak tahun 2006, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial mencoba menyempurnakan pendekatan dan penyelenggaraan Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Jika pada tahun 2005, penyaluran bantuan kepada KUBE bersifat natura, melalui perantara, top down, terpusat, tanpa pendampingan, maka mulai tahun 2006 sudah dilakukan perubahan dan penyempurnaan. 
Pada tahun 2007, penyempurnaan program terus dilakukan melalui kerjasama dengan pihak PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Mulai tahun 2007, program Pemberdayaan Fakir Miskin yang telah disempurnakan akan mulai dilakukan. Salah satu perubahan nyata yang telah dilakukan adalah penyaluran bantuannya dilakukan langsung kepada KUBE dan melalui mekanisme perbankan (bekerjasama dengan PT BRI Tbk). Bantuan tidak lagi bersifat natura (barang) yang harus disediakan oleh Pemerintah Pusat melalui pihak ketiga, namun disediakan sendiri oleh anggota KUBE.
Mekanisme Penyaluran Bantuan
Pengadaan barang dan jasa secara partisipatif akan dilakukan oleh anggota KUBE sendiri Kementerian Sosial memandang perlunya merumuskan langkah-langkah yang tepat agar tujuan penyaluran Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) dapat dilakukan secara tepat dan dimanfaatkan secara efektif oleh KUBE. 
Pada tahun 2007, Kementerian Sosial melakukan pembaharuan internal kementerian atau yang dikenal denganreinventing Kemensos. Adapung reinventing itu sendiri bahwa Kemensos akan melakukan perubahan dalam bentuk: (1) reorientasi kebijakan pada pembangunan manusia, (2) restrukturisasi organisasi untuk menjalankan dan mencapai tujuan kebijakan secara efektif, (3) pengembangan aliansi strategis dengan mitra kerja yang mempunyai kapasitas sesuai bidangnya, (4) perbaikan tata kelola pelaksanaan kebijakan, (5) penilaian kinerja program, setiap rupiah yang dibelanjakan harus menghasilkan kesempatan kerja, keuntung bagi yang bekerja, dan akumulasi tabungan bagi yang bekerja dan menabung.
 Pembaharuan program tersebut merupakan upaya Kementerian Sosial untuk menjadikan institusinya sebagai excellent ministry atau Kementerian unggulan (Pedum Tim Koordinasi BLPS, 2007:3). Dan untuk menjadi Kementerian unggulan tersebut, maka Kemensos perlu semakin terbuka untuk bekerjasama dengan semua mitra pembangunan, baik dari kalangan dunia usaha/swasta, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, para cendekiawan dan praktisi untuk bersama-sama mengembangkan Kemensos sebagai ujung tombak pencapaian target pembangunan nasional dan pembangunan daerah.  
 Kementerian Sosial menyelenggarakan program penanggulangan kemiskinan –dulu dikenal dengan: pengentasan kemiskinan- melalui program Kelompok Usaha Bersama atau KUBE. Program KUBE merupakan pengejawantahan Instruksi Presiden tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan atau Gerdu Taskin. 
Pola pemberdayaan KUBE yang diterapkan oleh Kementerian Sosial selama ini sangat seragam, kurang menekankan pada unsur-unsur lokal setempat. Jumlah kelompok sebanyak 10 Kepala Keluarga. Bantuan yang diberikan tidak dalam bentuk uang tetapi berupa paket usaha yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti peralatan bengkel, ternak sapi, peralatan-peralatan pertanian, dan lain-lain. Pemberian bantuan ini diawali dengan pembekalan pengembangan keterampilan usaha seadanya. Jenis paket usaha yang dikembangkan dianjurkan untuk memilih jenis usaha sesuai dengan ketersediaan sumber-sumber di daerah masing-masing, namun pelaksanaannya lebih mengacu pada kondisi pengadministrasian yang harus dipertanggung jawabkan.
 Jenis Bantuan KUBE
Setiap kelompok mendapat 1 paket bantuan usaha, untuk KUBE yang berprestasi dapat diberikan bantuan pengembangan usaha tahap berikutnya. Bantuan yang sudah diterima harus digulirkan pada kelompok fakir miskin lainnya yang ada di sekitarnya. Ada 10 indikator keberhasilan yang digunakan selama ini (Kemensos, 1994), yaitu:
  1. Perkembangan usaha ekonomis produktif keluarga
  2. Perkembangan usaha ekonomis produktif kelompok
  3. Kondisi kesejahteraan social Keluarga Binaan Sosial (KBS) secara keseluruhan
  4. Sumbangan Sosial Wajib (SSW) / luran Kesejahteraan Sosial (IKS) dan pengembangan gotong royong
  5. Perkembangan koperasi kelompok
  6. Pelaksanaan jaminan kesejahteraan sosial melalui embrio organisasi sosial
  7. Perkembangan tabungan dan tabanas
  8. Ikut sertanya KBS dalam program keluarga berencana, Posyandu dan wajib belajar
  9. Ada tidaknya partisipasi dalam kegiatan Karang Taruna
10.  Dampak proyek bantuan kesejahteraan sosial dalam masyarakat
 Pendekatan KUBE
KUBE dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial para kelompok miskin, yang meliputi: terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, meningkatnya pendapatan keluarga, meningkatnya pendidikan, dan meningkatnya derajat kesehatan. Selain itu, pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan dinamika kehidupan kelompok sosial, seperti: pengembangan hubungan yang semakin harmonis, pengembangan kreativitas, munculnya semangat kebersamaan dan kesetiakawanan sosial, munculnya sikap kemandirian, munculnya kemauan, dan lain-lain, sehingga menjadi sumber daya manusia yang utuh dan mempunyai tanggung jawab sosial ekonomi terhadap diri, keluarga dan masyarakat serta ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Melalui pendekatan KUBE ini diharapkan juga kelompok sasaran mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya alam, sosial, ekonomi, sumber daya manusia dan sumber lingkungan serta sumber-sumber lainnya yang ada di sekitarnya untuk kepentingan pengembangan potensi yang dimiliki, seperti: pemanfaatan lahan untuk pertanian, pemanfaatan air untuk pengembangan usaha ternak ikan, pemanfaatan tenaga yang mengganggur untuk menjadi tenaga kerja di KUBE yang dikelola, dan lain-lain. Diharapkan dengan pola seperti ini, mereka akan mudah mengintegrasikan sumber-sumber tersebut ke dalam kepentingan-kepentingan kelompok.  Kelompok mempunyai wewenang untuk mengelola, mengembangkan, mengevaluasi dan menikmati hasil-hasilnya. Pemerintah hanya memfasilitasi agar KUBE dapat berhasil dengan baik. Dilihat dari komposisi ini, pendekatan KUBE merupakan pendekatan yang relevan di dalam pemberdayaan kelompok miskin tersebut.
Kendala dan Hambatan
Kenyataannya di lapangan tidaklah selalu indah karena berbagai kendala dan hambatan dihadapi. Proses pembentukan, pengelolaan dan pengembangannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, bagaimana bantuan yang diberikan, bagaimana pendampingan yang dilakukan, dan lain-lain. Sebagian KUBE terbentuk atas insiatif anggota, sebagian karena gagasan atau bentuk aparat desa atau pihak lain yang berkepentingan. Dalam pengelolaannya juga demikian, ada KUBE yang memang murni dikelola oleh anggota dan sebagian ada pihak yang terlibat karena ada kepentingan, dan masalah-msalah lainnya. Tetapi keberhasilan dan kegagalan KUBE tidak bisa hanya dilihat dari sisi sebelah mata, hanya menyalahkan pihak ekternal yang mungkin terlibat, yaitu karena adanya campur tangan pihak luar. Namun masalah-masalah yang bersifat internal juga perlu dikaji dan dianalisis, seperti sifat dan unsur-unsur yang ada dalam kelompok, seperti keanggotaan, struktur kelompok dan lain-lain.
 Harapan kedepan untuk menjadikan KUBE sebagai suatu pendekatan dalam proses pemberdayaan perlu dikaji kembali, sehingga benar-benar menjadi suatu pendekatan yang dapat menjadi satu alternatif penanganan atau model di dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Diamana upaya pemberdayaan masyarakat telah mendapat perhatian besar dari berbagai pihak yang tidak terbatas pada aspek pemberdayaan ekonomi sosial, tetapi juga menyangkut aspek pemberdayaan politik.
 KUBE merupakan pemberdayaan masyarakat terkait dengan pemberian akses bagi masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan hak masyarakat bagi peningkatan kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat amat penting untuk mengatasi ketidak mampuan masyarakat yang disebabkan oleh keterbatasan akses, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, adanya kondisi kemiskinan yang dialami sebagaian masyarakat, dan adanya keengganan untuk membagi wewenang dan sumber daya yang berada pada pemerintah kepada masyarakat. Potensi masyarakat untuk mengembangkan kelembagaan keswadayaan ternyata telah meningkat akibat kemajuan sosial ekonomi masyarakat. Pada masa depan perlu dikembangkan lebih lanjut potensi keswadayaan masyarakat, terutama keterlibatan masyarakat pada berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan ketahanan sosial, dan kepedulian mayarakat luas dalam memecahkan masalah kemasyarakatan

Rabu, 27 November 2013

Kajian Malpraktek

 
 
Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.


B. Jenis-Jenis Malpraktek
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut  merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan.
Criminal malpractice yang bersifat sengaja misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat lalai misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.


Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.


C. Kajian Kasus Malpraktek
Radar Malang, Kamis 10 Agustus 2006
SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS
Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama Nunuk Rahayu (39) tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan. Bayi sungsang itu lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim.
Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin (40) kalut bukan kepalang. Bayi yang diidam-idamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara yang sangat memprihatinkan. “Saya sedih sekali, tak tega melihat anak saya,” ujar Muhaimin.
Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya Selasa sore lalu mengalami kontraksi. Melihat istrinya ada tanda-tanda melahirkan, Muhaimin membawa istrinya ke bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Begitu memasuki waktu shalat Magrib, dia pulang untuk shalat.
Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa tersebut terjadi. Selama ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan normal. “Nggak ada firasat apa-apa. Ya normal-normal saja,” katanya.
Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai. Pasalnya, Nunuk masih terbaring lemah di BKIA. Ia tampaknya masih tidur dengan pulas. Kemungkinan, pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius malam harinya.
Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu. Namun, dia sedikit lega bisa melihat anaknya ketika badan dan kepalanya disatukan. Menurut dia, bayi itu sangat mungil dan cantik, kulitnya masih merah, dan rambutnya ikal. “Saya ciumi dan usap wajahnya, sambil menangis,” kata Muhaimin dengan mata berkaca-kaca.
Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima dan menganggap ini takdir Tuhan. Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap menyerahkan ke yang berwenang. Dia berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya.
Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok bidan yang berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun. Dengan demikian, masyarakat juga merasa kaget mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan Handayani.
Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu. Kata dia, umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian kasus mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga meminta polisi segera mengusut kasus ini. Kalau perlu izin praktiknya dicabut,” katanya. (www.opensubscriber.com)