Dalam perkembangannya, ketentuan itupun dicabut
dengan SK No. 037/U/2004 yang dikeluarkan Mendiknas setelah ada respons (baca: ancaman) dari DPR. Sejak saat itu, pelaksanaan UN kemudian seperti permainan roller coaster yang menguntungkan pengelolanya, tapi membuat tegang dan stres penumpangnya.
Atas nama standarisasi mutu, ratusan ribu peserta didik, termasuk yang tinggal di berbagai pelosok terpencil Nusantara, dipaksa melompat dengan standar yang sama dengan anak-anak Jakarta dan kota-kota besar lain. Jeritan dan teriakan mereka tidak pernah didengar oleh para pemegang kuasa. Para elite politik itu juga seakan menutup mata terhadap praktek "doping" dan kecurangan yang terjadi secara massal, demi klaim capaian lompatan sesuai standar
Adanya dukungan dari akademisi seperti Prof. Anita Lie menjadi suplemen energi yang membuat "anak-anak kecil" itu tetap berani
Dalam konteks itu, penulis teringat pendapat guru agama di sebuah sekolah swasta ketika ditanya tentang UN. "UN itu bukan tidak ada manfaatnya. Tetapi, ia mirip khamar (minuman keras). Selain memabukkan, dosa penghamburan uang rakyat yang diakibatkannya pun jauh lebih besar dibandingkan kenikmatan yang dirasakan oleh para pengambil kebijakan," tuturnya.
Semoga, rencana moratorium dan desentralisasi UN kali ini benar-benar menjadi indikasi kesadaran pemerintah atas salah kaprah kebijakan selama ini. Bukan sekadar untuk pencitraan para pejabat dan politisi. Sebab, meminjam istilah Simon Sinek, sebuah kepemimpinan sejatinya adalah untuk menyiapkan generasi berikutnya. Bukan menyiapkan pemilu berikutnya.