Entri yang Diunggulkan

Catatan umar bakri

 Kelas pagi Pendidikan perlu bersandar pada sistem among yang berpegangan pada Kodrat Alam dan Kodrat Zaman. Konsep Kodrat Alam menyatakan b...

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 12 Desember 2013

Strategi Pemberdayaan Masyarakat

 Strategi Pemberdayaan Masyarakat
By : Jie D. Rahman

Bertitik tolak dari UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dimana masyarakat diberi kesempatan untuk ikut mengelola kawasan hutan sebagai alternatif bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat adalah merupakan inti dari konsep Social Forestry yang sekarang ini menjadi paradigma baru dalam pembangunan sektor kehutanan. Menindaklanjuti hal itu oleh Pemerintah c.q Departemen Kehutanan pada bulan Juli 2003 dicanangkanlah program Social Forestry sebagai upaya perbaikan kondisi hutan di Indonesia sekaligus dapat meningkatkan kesejahterakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Inti dari program Social Forestry adalah masyarakat terlibatkan aktif secara langsung dalam pengelolaan hutan dengan tujuan masyarakat bisa sejahtera dan kondisi hutan bisa lebih baik.
Berdasarkan paradigma Social forestry tersebut maka keberhasilan pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam berkontribusi terhadap upaya pengelolaan hutan dan kualitas sumberdaya manusia yang mendukungnya. Dalam upaya pengembangan kualitas masyarakat khususnya yang bermukim di dalam dan sekitar hutan agar maju dan mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan, maka strategi pemberdayaan masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan mutlak dilaksanakan.
Pada kenyatannya dilapangan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kehutanan masih lemah karena belum didukung oleh kelembagaan masyarakat yang kuat antara lain pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, sistem pengorganisasian yang belum sempurna, kesulitan memperoleh modal dan akses pemasaran yang belum memadai. Padahal aspek kelembagaan mempunyai peranan sangat besar bagi kesuksesan pembangunan hingga dapat dikatakan bahwa kegagalan pembangunan umumnya dikarenakan lemahnya kelembagaan yang ada termasuk sektor kehutanan.
Dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan dimasa yang akan datang sebagaimana semangat dalam program Social Forestry maka hal yang sangat urgen dilakukan adalah membangun, memperkuat dan mengembangkan kelembagaan masyarakat yang terkait dengan pembangunan kehutanan.
Proses pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya bagaiman masyarakat itu dapat mengenal dan merefleksikan permasalahannya sendiri, potensi diri dan lingkungannya serta memotivasi dalam mengembangkan potensi tersebut secara proporsional dengan cara/metode partisipatif.
Pemberdayaan Masyarakat Dimasa Lalu
Sesungguhnya proses pemberdayan masyarakat di sekitar hutan dalam rangka pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia sudah dimulai sejak lama yang implementasinya dalam bentuk penghijauan, reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis diberbagai DAS sejak tahun PELITA I (1970-an). Semua program tersebut dimaksudkan supaya nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan dapat melembaga di masyarakat. Dari segi keproyekan sudah ribuan ha lahan yang sudah direboisasi, dihijaukan dan direhabilitasi. Demikian juga pembinaan masyarakat, sudah ribuan orang dilatih dan disuluhkan nilai-nilai pengelolaanhutan dan lahan. Namun demikian issu dan permasalahan yang berkaitan dengan kelestarian hutan dan lahan masih saja menjadi issu atau problematik yang menarik untuk dibicarakan dan memerlukan penanganan tersendiri. Fenomena kerusakan hutan dan lahan dalam satuan DAS seperti kekeringan, banjir, erosi dan sedimentasi masih saja terjadi bahkan kecenderungannya meningkat. Data terakhir menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan sebesar 1,6 juta ha/tahun jauh melebihi kemampuan untuk merehabilitasinya yang hanya sekitar 900.000 s/d 1,2 juta ha/tahun. Dari beberapa laporan menunjukkan bahwa:
  1. tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolan DAS masih rendah
  2. banyak proyek-proyek yang keberhasilannya sulit dipertahankan
  3. kebijakan antar pemerintah atau NGO sering tidak sejalan (conflik of interest)
  4. intervensi masyarakat terhadap lahan semakin ganas karena telah mamasuki zona lindung. Padahal undang-undang telah menegaskan bahwa setiap masyarakat atau lembaga yang mengelolah atau memanfaatkan sumberdaya alam diwajibkan untuk memelihara dan melakukan kegiatan konservasi tanah dan air.
Dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan dan lahan Indonesia belum melembaga dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak pemanfatan sumberdaya alam yang tidak menerapkan konsep-konsep pengelolaan hutan lestari . Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai pengelolan hutan lestari masih rendah, belum diikuti oleh partisipasi masyarakat.
Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah strategi yang dilaksanakan selama ini kurang melibatkan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan menjadi terbatas bahkan di berbagai lokasi menjadi hilang. Hal ini membuat masyarakat merasa asing terhadap lingkungan yang selama puluhan tahun digelutinya, bahkan di beberapa tempat kegiatan mereka di hutan dianggap illegal. Lebih jauh lagi, rasa memiliki mereka terhadap hutan di sekelilingnya menghilang. Di berbagai daerah di Indonesia banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak swasta (HPH) dan BUMN (Perhutani, Inhutani), dan antara masyarakat dengan pemerintah berkaitan dengan pemanfaatan dan pemilikan hutan. Dampak dari keadaan ini adalah kerusakan hutan yang tak terkendali disamping itu kesejahteraan masyarakat juga tidak kunjung membaik.
Disamping itu paradigma yang berkembang dimasa lalu adalah bahwa problema pengelolaan hutan dan lahan bukanlah problema masyarakat akan tetapi merupakan problema pemerintah. Karena kegiatan yang dilakukan bersifat top down dan instruksional serta kurang memperhatikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses pelembagaan baik dari aspek teknologi maupun dari aspek organisasi dan nilai yang menyertainya. Teknologi yang diintrodusir biasanya merupakan paket yang ditentukan dari pusat, demikian juga dalam penentuan organisasi kelompok tani peserta kegiatan proyek tertentu.
Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekaligus melindungi dan atau memperbaiki kondisi hutan yang telah rusak, oleh pemerintah sekarang ini lebih menekankan bentuk keterlibatan masyarakat secara luas dalam pengelolaan hutan dengan menjadikan mereka sebagai partner. Sehingga pada tahun 2003, berlokasi di Kalimantan Tengah, Pemerintah Indonesia c.q Departemen Kehutanan mencanangkan program nasional Social Forestry. Program ini diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan dan menjaga kelestarian hutan itu sendiri serta memberikan penghasilan dan sumber pangan bagi masyarakat setempat. Sebagai pilot percontohan telah dipilih 11 lokasi Social Forestry di seluruh Indonesia. Kesebelas lokasi tersebut mewakili berbagai type peruntukan hutan.
Social Forestry atau Perhutanan Sosial dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan hutan dimana masyarakat lokal berpartisipasi aktif didalamnya untuk mensejahterakan mereka dan sekaligus melestarikan atau memperbaiki hutan di sekelilingnya.
Dalam program Social Forestry ini, masyarakat akan dilibatkan dalam pengelolaan hutan dari perencanaan, pemanfaatan, dan pemasarannya. Masyarakat juga diberi hak untuk mengelola kawasan hutan dengan batasan-batasan tertentu. Menurut versi Departemen Kehutanan, Social Forestry meliputi 3 aspek, yaitu aspek kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha/bisnis. Adanya aspek „kelola kelembagaan‟ menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pengelolaan hutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kelembagaan di tingkat masyarakat sangat lemah karena banyak kelembagaan yang merupakan bentukan dari luar untuk penyaluran atau mendapatkan proyek. Karenanya banyak program, proyek ataupun bantuan dari luar yang bermaksud untuk membangun masyarakat desa berakhir dengan kegagalan. Sebagai contoh, IDT (Inpres Desa Tertinggal), PPPK (Proyek Pembangunan Kecamatan), Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan, dan sebagainya.
Dengan pengalaman tersebut, dalam pelaksanaan Social Forestry, perencanaan yang matang dan keterlibatan berbagai pihak sejak awal merupakan bagian penting dalam mengawali program ini. Pemerintah pusat menyediakan banyak dana untuk pembuatan perencanaan teknis (RTSF). Dalam pembuatan RTSF, pemerintah pusat tidak lagi memakai jasa konsultan namun dilakukan oleh masyarakat sendiri bersama instansi pemerintah daerah terkait, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Mereka diberi pelatihan oleh tenaga ahli dari pusat dan didampingi dalam pelaksanaan pembuatan RTSF. Kelompok-kelompok dibentuk, merencanakan kegiatan yang mereka minati sesuai dengan kemampuan mereka dan nantinya akan melaksanakan kegiatan yang mereka rencanakan tersebut. Dikarenakan keterbatasan tenaga dari Pemerintah Pusat maka dipersiapkan tenaga-tenaga pendamping lokal untuk melanjutkan kegiatan lapangan.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
1. Proses Pemberdayaan.
Paradigma pemberdayaan (empowerment) adalah pemberian kesempatan kerja kelompok untuk merencanakan kemudian melaksanakan program pembangunan tersebut yang mereka pilih sendiri. Maksud dari pemberdayaan itu adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian kelompok. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur utama/dasar yang memungkinkan suatu masyarakat itu dapat bertahan dan mengembangkan diri dalam mencapai tujuan.
Upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dengan orientasi pembangunan yang berpusat pada masyarakat antara lain dapat dilkukan melalui pendekatan kelembagaan. Dengan pendekatan pembangunan seperti ini maka pembangunan diartikan sebagai peningkatan kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depannya dengan implikasi capacity, empowerment, dan sustanable (Brynt & White, 1987).
Pembangunan haruslah memiliki visi pemberdayaan manusia dan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya, sebab sepanjang jaman keswadayaan merupakan sumber daya kehidupan yang abadi dan manusia menjadi intinya atau fokusnya dan partisipasi merupakan perwujudan optimalnya. Keberdayaan merupakan modal utama masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan keberadaannya ditengah masyarakat lainnya.
Proses Pemberdayaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Secara individual 2. Secara kolektif/kelompok.
Proses pemberdayan dengan pendekatan individual akan lebih lambat berkembang dan cakupannya lebih sempit dibanding dengan pendekatan secara kolektif dan kelompok. Hal ini disebabkan karena didalam kelompok terjadi proses interaksi yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan solidaritas.
Disamping itu pula perubahan pola pikir petani melalui aktifitas individu biasanya lebih lambat dibanding dengan petani yang aktif dalam kegiatan kelompok. Demikian pula penerapan inovasi baru melalui aktifitas kelompok akan lebih cepat dan lebih meluas dibanding jika disampaikan melalui pendekatan individu. Ikatan dalam kelompok terbentuk karena adanya pandangan dan kebutuhan yang sama yang hendak dicapai.
Untuk memperkuat kesadaran dan solidaritas maka kelompok harus menumbuhkan identitas seragam dalam mengenali kepentingan dan tujuan mereka bersama. Bila anggota kelompok belum seragam mengenali kepentingan dan tujuan bersama yang hendak dicapai bahkan sering samar, tidak jelas atau tidak diketahui maka kelompok itu tidak dinamis bahkan lambat laun akan bubar dengan sendirinya.
Ada lima misi utama program pemberdayaan masyarakat yang menjamin tercapainya hasil yang baik adalah sebagai berikut:
1. Penyadaran.
Dalam banyak kasus di pedesaaan masyarakatnya sulit dan bahkan tidak mampu mengenali potensi diri dan potensi SDA yang sebenarnya banyak mereka miliki. Akibatnya banyak potensi yang tak termanfaatkan atau mubasir, sementara kehidupan masyarakatnya memprihatinkan. Oleh karena itu sering kita jumpai ironi dalam masyarakat ibarat ”ayam lapar di lumbung padi” atau ” itik kehausan ditengah sungai”. Oleh karena itu penyadaaran ini penting agar masyarakat desa tahu potensi, peluang, ancaman dan tantangan di masa depan.
2. Pengorganisasian.
Satu sumber kesalahan yang paling mendasar dalam pengembangan organisasi komunitas lokal adalah paternalisme.dari para perencana. Ketika para perencana menemukan keadaan kelembagaan tradisional yang lemah maka mereka secara refleksi memperkenalkan organisasi modern dengan bentuk dan pola yang serba seragam dengan daerah lain. Padahal organisasi modern tersebut belum tentu sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Alhasil banyak organisasi introduksi tersebut tidak melembaga dalam masyarakat. Mungkin organisasi tersebut berhasil di suatu tempat tetapi belum tentu berhasil di tempat lain.
Kelembagaan yang hakiki haruslah berawal dari prakarsa masyarkat secara sukarela agar memudahkan mereka mengelola potensi sosial ekonomi yang dimiliki. Kinerja kelembagaan lokal itu perlu dinilai kembali, disempurnakan dan terus dimotivasi agar nilai-nilai dan norma yang terkandung didalamnya dapat lebih hidup dan menjiwai kelembagan itu. Seperti semangat ”Mapalus” dimasyarakat Minahasa, ”Sisaro” di Tana Toraja, dll. Dengan demikian kelembagaan itu dapat berkembang menjadi ”biduk” bagi masyarakat menyongsong masa depan yang kina terbuka dan kompetitif.
3. Kaderisasi pendampingan.
Setiap program pembangunan ada jangka waktu pelaksanaannya. Selama progrma tersebut berjalam masyarakat berpartisipasi aktif karena ada tujuan yang didapat didalamnya, misalnya gaji/upah, kesempatan kerja yang bersifat jangka pendek. Namun setelah pembanguna itu berakhir maka partisipasi masyarakatnya menurun bahkan berangsur-angsur hilang karena tujuan semula sudah tidak ada lagi.
Oleh sebab itu sebelum pembangunan tersebut berkahir seharusnya masyarakat dipersiapkan untuk melanjutkan memelihara dan mengembangkan sendiri secara swadaya karena selama pelaksanan pembangunan tersebut itu merupakan kegaitan investasi awal dari pemerintah atau swasta. Jadi setiap pembangunan penting mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah program berakhir. Ukuran keberhasilan kaderisasi adalah kemampuan kader lokal untuk memerankan diri sebagai pendamping bagi masyarakat. Disinilah peran strategis LSM lokal untuk melakukan pendampingan agar partisipasi masyarakat terus tumbuh berkembang dalam mendukung setiap pembangunan.
4. Dukungan teknis.
Pembaharuan dalam suatu masyarakat umumnya memerlukan bantuan teknis dari suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya, informasi dan teknologi yang dapat membantu mempercepat perubahan itu menjadi kenyataan. Organisasi pendukung teknis sebaiknya dari insitusi yang berkompten untuk itu seperti peneliti atau penyuluh atau aparat dinas terkait atau juga tenaga profesional lainnya dari perusahaan swasta.
5. Pengelolaan Sistem.
Keterpaduan antar lembaga terkait sangat penting baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan maupun dalam hal pendanaannya. Disamping itu pengelolaan sistem dimaksudkan untuk mensinergikan kepentingan antar lembaga yang terkait untuk itu diperlukan korrdinasi yang baik agar tercipta sistem pengelolaan yang baik.
2. Teknik Pemberdayaan Masyarakat
Menurut pengalaman pendampingan masyarakat seperti yang dilakukan oleh P3AE-UI dkk. di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Gunung Betung Propinsi Lampung, pada tahap awal yang terpenting dilakukan adalah membangun fondasi sosial karena fondasi sosial merupakan kunci utama terhadap penumbuhan dan pembinaan masyarakat terhadap aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu pendampingan sosial sebaiknya lebih dahulu dilakukan sebelum kegiatan pendampingan yang lain dalam rangka pemberdayan kelompok yang mandiri dalam mengelolah sumberdaya hutan.
Dalam proses pemberdayaan juga terjadi proses belajar bersama dan berusaha bersama memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Berikut ini adalah proses pendampingan yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang mandiri:
a. Membangun kedekatan
Kedekatan antara pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam melakukan pendampingan. Hal ini dapat dipelajari dari pengalaman kegagalan dalam pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bilamana ada kepentingan kemudian meninggalkan desa dan masyarakatnya. Oleh karena itu membangun kedekatan adalah sangat penting, dan berarti para pendamping harus tinggal bersama-sama masyarakat.
b. Membangun pertemanan
Dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan pemdamping. Hal ini bisa terjadi karena pendamping hidup bersama-sama masyarakat. Mewujudkan pertemanan bukanlah hal yang mudah, oleh karena itu baik pendamping maupun masyarakat harus memahami prinsip-prinsip pertemanan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh P3AE-UI dkk. dalam pendampingan masyarakat antara lain adalah kesetaraan, demokrasi dan keadilan. Kesetaraan artinya semua individu mempunyai status atau derajat yang sama, tidak membeda-bedakan antara pendamping dengan masyarakat maupun antar individu di dalam masyarakat. Demokrasi artinya semua mempunyai hak yang sama, hak untuk mengemukanan pendapat, mengungkapkan permasalahan dan menyampaikan keinginan. Sedangkan keadilan artinya mereka mempunyai kewajiban dan hak yang sama dalam memecahkan masalah dan mewujudkan keinginan bersama.
Suatu hal yang sangat perlu ditumbuh kembangkan dalam pertemanan adalah rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Senasib sepenanggungan karena mereka mempunyai permasalahan dan keinginan yang sama. Saling menjaga, saling menghormati dan saling memberi toleransi kerena pada dasarnya mereka terdiri dari individu-individu yang berbeda.
c. Membangun kepercayaan
Kepercayaan tidak dapat dibangun hanya dengan janji-janji belaka. Akan tetapi kepercayaan dapat dibangun dengan cara menunjukan kenyataan bahwa apa yang diucapkan itulah yang kemudian dilakukan. Untuk itu dalam melakukan pendampingan hendaknya menghindari ucapan janji-janji, dan mengutamakan upaya berbuat bersama antara pendamping dan masyarakat. Membangun kepercayaan adalah sangat penting karena rasa saling percaya merupakan pilar utama dari semua interaksi antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Dengan rasa saling percaya kita dapat menciptakan kedekatan, keterbukaan, kerjasama, kelompok dan kelembagaan.
d. Membangun keterbukaan.
Keterbukaan diperlukan dalam mengungkapkan masalah yang dihadapi, keinginan yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan yang ada. Keterbukaan ini tidak akan dapat dilakukan apabila sebelumnya tidak ada kedekatan dan rasa saling percaya.
Perlu disadari bahwa di dalam pendampingan terkandung kegiatan identifikasi masalah dan potensi yang terdapat di dalam masyarakat. Melalui membangun keterbukaan inilah sebenarnya proses identifikasi tersebut berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan potensi yang diungkapkan oleh masyarakat dengan cara keterbukaan tadi, kemudian pendamping bersama-sama masyarakat dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut.
e. Membangun kerjasama
Masing-masing individu dalam masyarakat pada tahap ini sudah mengetahui bahwa mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. Akan tetapi potensi yang mereka miliki tidak mungkin dapat diberdayakan untuk memecahkan masalah dan mencapai keinginan apabila potensi tersebut masih terpecah-pecah pada masing-masing individu.
Pada tahap inilah saatnya seluruh masyarakat bersama-sama pendamping memikirkan perlunya membangun kerjasama. Dalam membangun kerjasama ini mereka secara lebih nyata dituntut memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, keadilan, dan pertemanan yang meliputi rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi.