Oleh: Jihadur rahman
Pendamping UPPKH Kab. Lamongan
Sebelum kita berbicara lebih lanjut,
ada baiknya kita selintas memahami apa sesungguhnya konsep kemiskinan,
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Konsep
“pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep pembangunan dan
sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di
pedesaan. Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma
atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep, teori,
nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya.
Perubahan ini telah mempengaruhi isi
Laporan Indeks Pembangunan Manusia (Human Index Development) yang setiap
tahun dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Organisasi
ini menyatakan “pembangunan seharusnya dianyam oleh rakyat bukan
sebaliknya menjadi penonton pembangunan dan seharusnya pula pembangunan
memperkuat rakyat bukan justru membuat rakyat semakin lemah”.
Pemberdayaan
menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan
selama ini. Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa
perang dunia kedua, ternyata pembangunan membuat orang semakin miskin
atau jumlah orang miskin semakin banyak. Gagasan modernisasi pun rontok
karena tidak mampu meneteskan hasil- hasil pembangunan kepada kelompok
masyarakat termiskin, pun semakin diakui bahwa pemerintah ternyata tidak
mampu mengentaskan kemiskinan dan konyolnya pembangunan juga merusak
lingkungan hidup.
Sedangkan Chambers (1983) berpandangan
kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi – berlokasi jauh dari
pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi, kurangnya nasehat dari
penyuluh pertanian, kehutanan dan kesehatan serta pada banyak kasus juga
ditandai dengan ketiadaan sarana bepergian. Kelompok masyarakat miskin
amat rentan karena mereka tidak memiliki sistem penyangga kehidupan
yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan cara menggunakan uangnya
yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi, barter, pinjam dari
teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan yang
ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan bantuan hukum
bagi mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan mereka pun tidak
memperoleh pelayanan publik yang optimal.
Kemiskinan kemudian
lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan akses pada
pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial,
politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup.
Dalam pengertian yang lebih generik,
pemberdayaan komunitas berarti penguatan makna dan realitas dari
prinsip-prinsip inklusivitas (seperti bagaimana melibatkan para pihak
yang relevan dalam suatu proses), transparansi (keterbukaan),
akuntabilitas (yang memberikan legitimasi pada setiap proses pengambilan
keputusan). Konsep ini melampaui hiruk pikuk masalah pembangunan dan
demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan partisipasi tetapi bagaimana
memberikan kesempatan pada anggota komunitas (termiskin, terpinggirkan)
untuk memahami realitas lingkungannya (sosial, politik, ekonomi,
politik, dan kebudayaan) dan merefleksikan faktor-faktor yang membentuk
lingkungan mereka dan menentukan langkah- langkah perubahan untuk
memperbaiki situasi mereka.
Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan
kemiskinan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang
memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyasrakat. Dalam hal ini,
pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi
alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan. Menemu kenali
elemen-elemen atau kondisi yang dibutuhkan bagi pemberdayaan menjadi
kebutuhan utama dalam memahami manifestasi konkrit pemberdayaan di
tingkat basis. Elemen- elemen pemberdayaan termasuk diantaranya,
Swadaya dan otonomi lokal dalam proses pengambilan keputusan masyarakat
di tingkat desa, dan partisipasi demokrasi langsung dalam proses
kepemerintahan representatif yang lebih luas. Ini akan memungkinkan
masyarakat menggunakan kapasitasnya untuk memanfaatkan jasa informasi,
berlatih memikirkan masa depan, melakukan eksperimen dan inovasi,
berkolaborasi dengan orang lain, dan mengeksploitasi kondisi-kondisi
serta sumberdaya-sumberdaya baru; Penyediaan ruang bagi masyarakat untuk
menegaskan kebudayaan serta kesejahteraan spiritualnya, dan
pembelajaran sosial yang bertumpu pada pengalaman, termasuk pengungkapan
dan penerapan kearifan lokal, di samping pengetahuan teoritis dan
ilmiah; Akses terhadap tanah dan sumberdaya lainnya, pendidikan untuk
perubahan, dan fasilitas perumahan serta kesehatan; Akses terhadap
pengetahuan dan ketrampilan (dari dalam maupun dari luar) untuk
mempertahankan kekayaan alam secara konstan dan kapasitas alam menerima
buangan; kedua, akses terhadap latihan ketrampilan, tehnik- tehnik
pemecahan masalah, dan teknologi serta informasi tepat guna yang ada,
sehingga pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki bisa dimanfaatkan;
dan ketiga, partisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan oleh
semua orang, terutama perempuan dan kelompok-kelompok yang pinggiran.
Elemen-elemen pemberdayaan di atas merupakan apa yang dibutuhkan untuk
memungkinkan terjadinya perubahan.
Pembangunan yang bertumpu pada komunitas hendaknya berakar
pada prinsip-prinsip berikut, kedaulatan, kebebasan, dan demokrasi
melalui partisipasi politik yang luas. Komunitas lokal mengontrol
sendiri sumberdayanya dan memiliki akses memadai pada informasi.
Membangun suatu sistem nilai yang konsisten sesuai dengan perikehidupan
komunitas dan hubungan mereka dengan alam dan sumberdayanya. Membangun
semangat gotong royong di antara anggota komunitas untuk membangun masa
depan bersama.
Pemberdayaan pada akhirnya memberikan
kepada komunitas yang paling miskin dan terpinggirkan kapasitas yang
sesungguhnya agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan
baik sebagai masyarakat maupun komunitas. Transisi ini membutuhkan
kesadaran sosial, partisipasi sosial yang lebih tinggi, pemanfaatan
pemahaman baru atas proses ekologi perubahan dan pembaruan diri. Tekanan
terbesar dalam proses pemberdayaan dalam pembangunan berkelanjutan dan
pengentasan kemiskinan adalah pemberdayaan sosio-ekonomi, pemberdayaan
politik, pemberdayaan pendidikan, pemberdayaan teknologi dan pemberdayan
kebudayaan atau spiritual. Pemberdayaan sosio-ekonomi ini akan
mendorong individu dan komunitas memperoleh tanggung jawab bersama
menentukan masa depannya dan menjadi manajer perubahan yang diinginkan.
Kesimpulannya pemberdayaan dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat
memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses dan pilihan-pilihan seperti
ruang kebudayaan dan spiritual, pengakuan dan validasi pada pengetahuan
lokal, pendapatan, kredit, informasi, training, dan partisipasi pada
proses pengambilan keputusan.
Dalam usaha mengentaskan kemiskinan di
pedesaan, selama ini telah ada tiga strategi yakni (1) strategi
pusat-pusat pertumbuhan yang mendorong investor membangun industri di
wilayah-wilayah tertentu agar generasi pencari kerja tertarik ke pusat
pertumbuhan ini, (2) strategi pemukiman kembali, dan (3) pembangunan
desa terpadu. Ketiga pendekatan ini telah gagal melakukan pemberdayaan
rakyat miskin dan mengentaskan kemiskinan. Karena, mereka tidak memiliki
suatu proses untuk belajar dari kaum termiskin tentang kebutuhan,
aspirasi dan pengetahuan mereka. Ketiga pendekatan di muka pun gagal
memberikan peluang kepada kaum miskin masalah dasar mereka. Pemberdayaan
bukan mengulang kesalahan 3 strategi di muka!