Entri yang Diunggulkan

Catatan umar bakri

 Kelas pagi Pendidikan perlu bersandar pada sistem among yang berpegangan pada Kodrat Alam dan Kodrat Zaman. Konsep Kodrat Alam menyatakan b...

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 20 Desember 2013

Jadwal Kampanye Pemilu 2014

Jadwal tahapan kampanye ini tertuang pada PKPU No 15/2012  Tentang Tahapan, Program dan Jadwa Penyelenggara Pemilu. Dalam PKPU No  15/2012 pelaksanaan kampanye dipaparkan sebagai berikut:

11 Januari - 5 April 2013
Pelaksanaan kampanye melalui pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka,  penyebaran bahan kampanye kepada umum dan pemasangan alat peraga.

16 Maret - 5 April 2013
Pelaksanaan kampanye melalui rapat umum dan iklan media massa cetak dan elektronik.

10 - 24 April
Penyerahan laporan dana kampanye meliputo penerimaan dan pengeluaran  kepada akuntan publik melalui KPU Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

25 April- 25 Mei 2014
Audit dana kampanye.

26 - 27 Mei 2014
Penyerahan hasil audit dana kampanye kepada  KPU Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

28 Mei - 3 Juni 2014
Penyampaian hasil audit dana kampanye oleh  KPU Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

4 - 13 Juni 2014
Pengumuman hasil audir penerimaan dan penggunaan dana kampanye
Penyerahan laporan awal dana kampanye dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU.

Kamis, 12 Desember 2013

Strategi Pemberdayaan Masyarakat

 Strategi Pemberdayaan Masyarakat
By : Jie D. Rahman

Bertitik tolak dari UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dimana masyarakat diberi kesempatan untuk ikut mengelola kawasan hutan sebagai alternatif bentuk pengelolaan hutan oleh masyarakat adalah merupakan inti dari konsep Social Forestry yang sekarang ini menjadi paradigma baru dalam pembangunan sektor kehutanan. Menindaklanjuti hal itu oleh Pemerintah c.q Departemen Kehutanan pada bulan Juli 2003 dicanangkanlah program Social Forestry sebagai upaya perbaikan kondisi hutan di Indonesia sekaligus dapat meningkatkan kesejahterakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Inti dari program Social Forestry adalah masyarakat terlibatkan aktif secara langsung dalam pengelolaan hutan dengan tujuan masyarakat bisa sejahtera dan kondisi hutan bisa lebih baik.
Berdasarkan paradigma Social forestry tersebut maka keberhasilan pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dalam berkontribusi terhadap upaya pengelolaan hutan dan kualitas sumberdaya manusia yang mendukungnya. Dalam upaya pengembangan kualitas masyarakat khususnya yang bermukim di dalam dan sekitar hutan agar maju dan mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan, maka strategi pemberdayaan masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan mutlak dilaksanakan.
Pada kenyatannya dilapangan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kehutanan masih lemah karena belum didukung oleh kelembagaan masyarakat yang kuat antara lain pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, sistem pengorganisasian yang belum sempurna, kesulitan memperoleh modal dan akses pemasaran yang belum memadai. Padahal aspek kelembagaan mempunyai peranan sangat besar bagi kesuksesan pembangunan hingga dapat dikatakan bahwa kegagalan pembangunan umumnya dikarenakan lemahnya kelembagaan yang ada termasuk sektor kehutanan.
Dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan dimasa yang akan datang sebagaimana semangat dalam program Social Forestry maka hal yang sangat urgen dilakukan adalah membangun, memperkuat dan mengembangkan kelembagaan masyarakat yang terkait dengan pembangunan kehutanan.
Proses pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya bagaiman masyarakat itu dapat mengenal dan merefleksikan permasalahannya sendiri, potensi diri dan lingkungannya serta memotivasi dalam mengembangkan potensi tersebut secara proporsional dengan cara/metode partisipatif.
Pemberdayaan Masyarakat Dimasa Lalu
Sesungguhnya proses pemberdayan masyarakat di sekitar hutan dalam rangka pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia sudah dimulai sejak lama yang implementasinya dalam bentuk penghijauan, reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis diberbagai DAS sejak tahun PELITA I (1970-an). Semua program tersebut dimaksudkan supaya nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan dapat melembaga di masyarakat. Dari segi keproyekan sudah ribuan ha lahan yang sudah direboisasi, dihijaukan dan direhabilitasi. Demikian juga pembinaan masyarakat, sudah ribuan orang dilatih dan disuluhkan nilai-nilai pengelolaanhutan dan lahan. Namun demikian issu dan permasalahan yang berkaitan dengan kelestarian hutan dan lahan masih saja menjadi issu atau problematik yang menarik untuk dibicarakan dan memerlukan penanganan tersendiri. Fenomena kerusakan hutan dan lahan dalam satuan DAS seperti kekeringan, banjir, erosi dan sedimentasi masih saja terjadi bahkan kecenderungannya meningkat. Data terakhir menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan sebesar 1,6 juta ha/tahun jauh melebihi kemampuan untuk merehabilitasinya yang hanya sekitar 900.000 s/d 1,2 juta ha/tahun. Dari beberapa laporan menunjukkan bahwa:
  1. tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolan DAS masih rendah
  2. banyak proyek-proyek yang keberhasilannya sulit dipertahankan
  3. kebijakan antar pemerintah atau NGO sering tidak sejalan (conflik of interest)
  4. intervensi masyarakat terhadap lahan semakin ganas karena telah mamasuki zona lindung. Padahal undang-undang telah menegaskan bahwa setiap masyarakat atau lembaga yang mengelolah atau memanfaatkan sumberdaya alam diwajibkan untuk memelihara dan melakukan kegiatan konservasi tanah dan air.
Dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan dan lahan Indonesia belum melembaga dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak pemanfatan sumberdaya alam yang tidak menerapkan konsep-konsep pengelolaan hutan lestari . Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai pengelolan hutan lestari masih rendah, belum diikuti oleh partisipasi masyarakat.
Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah strategi yang dilaksanakan selama ini kurang melibatkan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan menjadi terbatas bahkan di berbagai lokasi menjadi hilang. Hal ini membuat masyarakat merasa asing terhadap lingkungan yang selama puluhan tahun digelutinya, bahkan di beberapa tempat kegiatan mereka di hutan dianggap illegal. Lebih jauh lagi, rasa memiliki mereka terhadap hutan di sekelilingnya menghilang. Di berbagai daerah di Indonesia banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak swasta (HPH) dan BUMN (Perhutani, Inhutani), dan antara masyarakat dengan pemerintah berkaitan dengan pemanfaatan dan pemilikan hutan. Dampak dari keadaan ini adalah kerusakan hutan yang tak terkendali disamping itu kesejahteraan masyarakat juga tidak kunjung membaik.
Disamping itu paradigma yang berkembang dimasa lalu adalah bahwa problema pengelolaan hutan dan lahan bukanlah problema masyarakat akan tetapi merupakan problema pemerintah. Karena kegiatan yang dilakukan bersifat top down dan instruksional serta kurang memperhatikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses pelembagaan baik dari aspek teknologi maupun dari aspek organisasi dan nilai yang menyertainya. Teknologi yang diintrodusir biasanya merupakan paket yang ditentukan dari pusat, demikian juga dalam penentuan organisasi kelompok tani peserta kegiatan proyek tertentu.
Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekaligus melindungi dan atau memperbaiki kondisi hutan yang telah rusak, oleh pemerintah sekarang ini lebih menekankan bentuk keterlibatan masyarakat secara luas dalam pengelolaan hutan dengan menjadikan mereka sebagai partner. Sehingga pada tahun 2003, berlokasi di Kalimantan Tengah, Pemerintah Indonesia c.q Departemen Kehutanan mencanangkan program nasional Social Forestry. Program ini diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan dan menjaga kelestarian hutan itu sendiri serta memberikan penghasilan dan sumber pangan bagi masyarakat setempat. Sebagai pilot percontohan telah dipilih 11 lokasi Social Forestry di seluruh Indonesia. Kesebelas lokasi tersebut mewakili berbagai type peruntukan hutan.
Social Forestry atau Perhutanan Sosial dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan hutan dimana masyarakat lokal berpartisipasi aktif didalamnya untuk mensejahterakan mereka dan sekaligus melestarikan atau memperbaiki hutan di sekelilingnya.
Dalam program Social Forestry ini, masyarakat akan dilibatkan dalam pengelolaan hutan dari perencanaan, pemanfaatan, dan pemasarannya. Masyarakat juga diberi hak untuk mengelola kawasan hutan dengan batasan-batasan tertentu. Menurut versi Departemen Kehutanan, Social Forestry meliputi 3 aspek, yaitu aspek kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha/bisnis. Adanya aspek „kelola kelembagaan‟ menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pengelolaan hutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kelembagaan di tingkat masyarakat sangat lemah karena banyak kelembagaan yang merupakan bentukan dari luar untuk penyaluran atau mendapatkan proyek. Karenanya banyak program, proyek ataupun bantuan dari luar yang bermaksud untuk membangun masyarakat desa berakhir dengan kegagalan. Sebagai contoh, IDT (Inpres Desa Tertinggal), PPPK (Proyek Pembangunan Kecamatan), Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan, dan sebagainya.
Dengan pengalaman tersebut, dalam pelaksanaan Social Forestry, perencanaan yang matang dan keterlibatan berbagai pihak sejak awal merupakan bagian penting dalam mengawali program ini. Pemerintah pusat menyediakan banyak dana untuk pembuatan perencanaan teknis (RTSF). Dalam pembuatan RTSF, pemerintah pusat tidak lagi memakai jasa konsultan namun dilakukan oleh masyarakat sendiri bersama instansi pemerintah daerah terkait, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Mereka diberi pelatihan oleh tenaga ahli dari pusat dan didampingi dalam pelaksanaan pembuatan RTSF. Kelompok-kelompok dibentuk, merencanakan kegiatan yang mereka minati sesuai dengan kemampuan mereka dan nantinya akan melaksanakan kegiatan yang mereka rencanakan tersebut. Dikarenakan keterbatasan tenaga dari Pemerintah Pusat maka dipersiapkan tenaga-tenaga pendamping lokal untuk melanjutkan kegiatan lapangan.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat
1. Proses Pemberdayaan.
Paradigma pemberdayaan (empowerment) adalah pemberian kesempatan kerja kelompok untuk merencanakan kemudian melaksanakan program pembangunan tersebut yang mereka pilih sendiri. Maksud dari pemberdayaan itu adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian kelompok. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur utama/dasar yang memungkinkan suatu masyarakat itu dapat bertahan dan mengembangkan diri dalam mencapai tujuan.
Upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dengan orientasi pembangunan yang berpusat pada masyarakat antara lain dapat dilkukan melalui pendekatan kelembagaan. Dengan pendekatan pembangunan seperti ini maka pembangunan diartikan sebagai peningkatan kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depannya dengan implikasi capacity, empowerment, dan sustanable (Brynt & White, 1987).
Pembangunan haruslah memiliki visi pemberdayaan manusia dan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya, sebab sepanjang jaman keswadayaan merupakan sumber daya kehidupan yang abadi dan manusia menjadi intinya atau fokusnya dan partisipasi merupakan perwujudan optimalnya. Keberdayaan merupakan modal utama masyarakat untuk mengembangkan dirinya serta mempertahankan keberadaannya ditengah masyarakat lainnya.
Proses Pemberdayaan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Secara individual 2. Secara kolektif/kelompok.
Proses pemberdayan dengan pendekatan individual akan lebih lambat berkembang dan cakupannya lebih sempit dibanding dengan pendekatan secara kolektif dan kelompok. Hal ini disebabkan karena didalam kelompok terjadi proses interaksi yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan solidaritas.
Disamping itu pula perubahan pola pikir petani melalui aktifitas individu biasanya lebih lambat dibanding dengan petani yang aktif dalam kegiatan kelompok. Demikian pula penerapan inovasi baru melalui aktifitas kelompok akan lebih cepat dan lebih meluas dibanding jika disampaikan melalui pendekatan individu. Ikatan dalam kelompok terbentuk karena adanya pandangan dan kebutuhan yang sama yang hendak dicapai.
Untuk memperkuat kesadaran dan solidaritas maka kelompok harus menumbuhkan identitas seragam dalam mengenali kepentingan dan tujuan mereka bersama. Bila anggota kelompok belum seragam mengenali kepentingan dan tujuan bersama yang hendak dicapai bahkan sering samar, tidak jelas atau tidak diketahui maka kelompok itu tidak dinamis bahkan lambat laun akan bubar dengan sendirinya.
Ada lima misi utama program pemberdayaan masyarakat yang menjamin tercapainya hasil yang baik adalah sebagai berikut:
1. Penyadaran.
Dalam banyak kasus di pedesaaan masyarakatnya sulit dan bahkan tidak mampu mengenali potensi diri dan potensi SDA yang sebenarnya banyak mereka miliki. Akibatnya banyak potensi yang tak termanfaatkan atau mubasir, sementara kehidupan masyarakatnya memprihatinkan. Oleh karena itu sering kita jumpai ironi dalam masyarakat ibarat ”ayam lapar di lumbung padi” atau ” itik kehausan ditengah sungai”. Oleh karena itu penyadaaran ini penting agar masyarakat desa tahu potensi, peluang, ancaman dan tantangan di masa depan.
2. Pengorganisasian.
Satu sumber kesalahan yang paling mendasar dalam pengembangan organisasi komunitas lokal adalah paternalisme.dari para perencana. Ketika para perencana menemukan keadaan kelembagaan tradisional yang lemah maka mereka secara refleksi memperkenalkan organisasi modern dengan bentuk dan pola yang serba seragam dengan daerah lain. Padahal organisasi modern tersebut belum tentu sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat. Alhasil banyak organisasi introduksi tersebut tidak melembaga dalam masyarakat. Mungkin organisasi tersebut berhasil di suatu tempat tetapi belum tentu berhasil di tempat lain.
Kelembagaan yang hakiki haruslah berawal dari prakarsa masyarkat secara sukarela agar memudahkan mereka mengelola potensi sosial ekonomi yang dimiliki. Kinerja kelembagaan lokal itu perlu dinilai kembali, disempurnakan dan terus dimotivasi agar nilai-nilai dan norma yang terkandung didalamnya dapat lebih hidup dan menjiwai kelembagan itu. Seperti semangat ”Mapalus” dimasyarakat Minahasa, ”Sisaro” di Tana Toraja, dll. Dengan demikian kelembagaan itu dapat berkembang menjadi ”biduk” bagi masyarakat menyongsong masa depan yang kina terbuka dan kompetitif.
3. Kaderisasi pendampingan.
Setiap program pembangunan ada jangka waktu pelaksanaannya. Selama progrma tersebut berjalam masyarakat berpartisipasi aktif karena ada tujuan yang didapat didalamnya, misalnya gaji/upah, kesempatan kerja yang bersifat jangka pendek. Namun setelah pembanguna itu berakhir maka partisipasi masyarakatnya menurun bahkan berangsur-angsur hilang karena tujuan semula sudah tidak ada lagi.
Oleh sebab itu sebelum pembangunan tersebut berkahir seharusnya masyarakat dipersiapkan untuk melanjutkan memelihara dan mengembangkan sendiri secara swadaya karena selama pelaksanan pembangunan tersebut itu merupakan kegaitan investasi awal dari pemerintah atau swasta. Jadi setiap pembangunan penting mempersiapkan kader-kader pengembangan keswadayaan lokal yang akan mengambil alih tugas pendampingan setelah program berakhir. Ukuran keberhasilan kaderisasi adalah kemampuan kader lokal untuk memerankan diri sebagai pendamping bagi masyarakat. Disinilah peran strategis LSM lokal untuk melakukan pendampingan agar partisipasi masyarakat terus tumbuh berkembang dalam mendukung setiap pembangunan.
4. Dukungan teknis.
Pembaharuan dalam suatu masyarakat umumnya memerlukan bantuan teknis dari suatu lembaga dari luar yang menguasai sumberdaya, informasi dan teknologi yang dapat membantu mempercepat perubahan itu menjadi kenyataan. Organisasi pendukung teknis sebaiknya dari insitusi yang berkompten untuk itu seperti peneliti atau penyuluh atau aparat dinas terkait atau juga tenaga profesional lainnya dari perusahaan swasta.
5. Pengelolaan Sistem.
Keterpaduan antar lembaga terkait sangat penting baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan maupun dalam hal pendanaannya. Disamping itu pengelolaan sistem dimaksudkan untuk mensinergikan kepentingan antar lembaga yang terkait untuk itu diperlukan korrdinasi yang baik agar tercipta sistem pengelolaan yang baik.
2. Teknik Pemberdayaan Masyarakat
Menurut pengalaman pendampingan masyarakat seperti yang dilakukan oleh P3AE-UI dkk. di sekitar kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Gunung Betung Propinsi Lampung, pada tahap awal yang terpenting dilakukan adalah membangun fondasi sosial karena fondasi sosial merupakan kunci utama terhadap penumbuhan dan pembinaan masyarakat terhadap aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu pendampingan sosial sebaiknya lebih dahulu dilakukan sebelum kegiatan pendampingan yang lain dalam rangka pemberdayan kelompok yang mandiri dalam mengelolah sumberdaya hutan.
Dalam proses pemberdayaan juga terjadi proses belajar bersama dan berusaha bersama memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Berikut ini adalah proses pendampingan yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang mandiri:
a. Membangun kedekatan
Kedekatan antara pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam melakukan pendampingan. Hal ini dapat dipelajari dari pengalaman kegagalan dalam pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bilamana ada kepentingan kemudian meninggalkan desa dan masyarakatnya. Oleh karena itu membangun kedekatan adalah sangat penting, dan berarti para pendamping harus tinggal bersama-sama masyarakat.
b. Membangun pertemanan
Dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan pemdamping. Hal ini bisa terjadi karena pendamping hidup bersama-sama masyarakat. Mewujudkan pertemanan bukanlah hal yang mudah, oleh karena itu baik pendamping maupun masyarakat harus memahami prinsip-prinsip pertemanan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh P3AE-UI dkk. dalam pendampingan masyarakat antara lain adalah kesetaraan, demokrasi dan keadilan. Kesetaraan artinya semua individu mempunyai status atau derajat yang sama, tidak membeda-bedakan antara pendamping dengan masyarakat maupun antar individu di dalam masyarakat. Demokrasi artinya semua mempunyai hak yang sama, hak untuk mengemukanan pendapat, mengungkapkan permasalahan dan menyampaikan keinginan. Sedangkan keadilan artinya mereka mempunyai kewajiban dan hak yang sama dalam memecahkan masalah dan mewujudkan keinginan bersama.
Suatu hal yang sangat perlu ditumbuh kembangkan dalam pertemanan adalah rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Senasib sepenanggungan karena mereka mempunyai permasalahan dan keinginan yang sama. Saling menjaga, saling menghormati dan saling memberi toleransi kerena pada dasarnya mereka terdiri dari individu-individu yang berbeda.
c. Membangun kepercayaan
Kepercayaan tidak dapat dibangun hanya dengan janji-janji belaka. Akan tetapi kepercayaan dapat dibangun dengan cara menunjukan kenyataan bahwa apa yang diucapkan itulah yang kemudian dilakukan. Untuk itu dalam melakukan pendampingan hendaknya menghindari ucapan janji-janji, dan mengutamakan upaya berbuat bersama antara pendamping dan masyarakat. Membangun kepercayaan adalah sangat penting karena rasa saling percaya merupakan pilar utama dari semua interaksi antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Dengan rasa saling percaya kita dapat menciptakan kedekatan, keterbukaan, kerjasama, kelompok dan kelembagaan.
d. Membangun keterbukaan.
Keterbukaan diperlukan dalam mengungkapkan masalah yang dihadapi, keinginan yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan yang ada. Keterbukaan ini tidak akan dapat dilakukan apabila sebelumnya tidak ada kedekatan dan rasa saling percaya.
Perlu disadari bahwa di dalam pendampingan terkandung kegiatan identifikasi masalah dan potensi yang terdapat di dalam masyarakat. Melalui membangun keterbukaan inilah sebenarnya proses identifikasi tersebut berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan potensi yang diungkapkan oleh masyarakat dengan cara keterbukaan tadi, kemudian pendamping bersama-sama masyarakat dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut.
e. Membangun kerjasama
Masing-masing individu dalam masyarakat pada tahap ini sudah mengetahui bahwa mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. Akan tetapi potensi yang mereka miliki tidak mungkin dapat diberdayakan untuk memecahkan masalah dan mencapai keinginan apabila potensi tersebut masih terpecah-pecah pada masing-masing individu.
Pada tahap inilah saatnya seluruh masyarakat bersama-sama pendamping memikirkan perlunya membangun kerjasama. Dalam membangun kerjasama ini mereka secara lebih nyata dituntut memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, keadilan, dan pertemanan yang meliputi rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi.

Rabu, 11 Desember 2013

Membangun Kesadaran Kolektif

Membangun Kesadaran Kolektif
By Jie D. Rahman

Memang hal yang biasa diwacanakan tetapi menjadi hal yang sangat luar biasa ketika mampu menjadi “makanan harian” masyarakat dan pemerintah. Sederhana saja tetapi membutuhkan komitmen yang tulus dari semua elemen atau stakeholders termasuk masyarakat. Suatu hal yang sangat sederhana itu  akan menjadi sebuah kebanggaan jika sebagian besar masyarakat memiliki niat yang sama untuk bertindak nyata demi keluar dari ancaman/serangan banjir tiap tahunnya, apalagi bukanlah sebuah aksi yang cukup trend atau modern saat ini jika menganggap persoalan banjir adalah sebagai tanggung jawab pihak tertentu (pemerintah) dan sebagai akibat dari tingkah laku orang-orang tertentu saja. Pandangan seperti ini tidak akan mengubah keadaan sehingga semestinya dibuang dan diperbaharui dengan pola pikir baru.
 Kesadaran kolektif menjadi embrio awal yang perlu diperjuangkan oleh semua elemen masyarakat. Pemerintah dan pihak terkait serta masyarakat luas harus berperan aktif melakukan tindakan nyata untuk mewujudkan suatu tatanan yang lebih baik dari sebelumnya. Masyarakat pun semestinya tidak boleh menunggu imbauan untuk bertindak sadar diri, mulai dari menjaga lingkungan , dll, perlu diprioritaskan untuk dilakukan yang nantinya berujung pada masyarakat dan wilayah yang bebas dari tekanan banjir.

Perlu diingat juga, negara telah mengucurkan dana yang tidak sedikit dalam mengatasi masalah banjir terutama di DKI Jakarta. Namun demikian, pemerintah tetap bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap persoalan bencana banjir ini. Peran pemerintah (pemerintah daerah) memang harus mendominasi, tetapi bukan sepenuhnya pemerintah yang bertanggung jawab.

Sebagaimana yang saya singgung sebelumnya, untuk mewujudkan kesadaran kolektif terutama untuk melakukan tindakan nyata mulai dari hal yang sederhana untuk mencegah banjir, peran masyarakat sama pentingnya dengan peran pemerintah (pemerintah daerah). Dua elemen yang sangat penting ini menjadi fondasi utama terbentuknya kesadaran bersama. Terwujudnya kesadaran bersama tidak terlepas dari dorongan berbagai pihak. Lalu, usulan berikutnya untuk ke depan dilakukan, pembangunan fisik selama ini yang diagungkan (seperti pembangunan kanal/gorong-gorong, dll,) harus beriringan atau seimbang dengan pembangunan kualitas berpikir masyarakat atau membangun sumber daya manusia, sehingga kesadaran kolektif itu terwujud.

Selasa, 10 Desember 2013

Membangun Karakter Bangsa: “Bagaimana Caranya?”

Beberapa tahun terakhir ini bermunculan konsep gagasan untuk membangun karakter bangsa. Ada yang mengatakan bahwa membangun karakter anak bangsa itu harus dilakukan sedini mungkin, sehingga di sekolah-sekolah perlu dimasukkan kurikulum anti korupsi, dan perlu dibuat kantin-kantin kejujuran. Ada yang mengusulkan diperkuat dengan pelajaran agama, karena itu jam pelajaran agama di sekolah perlu ditambah. Ada juga yang mengatakan dididik ala militer, sehingga memiliki nasionalisme yang kuat. Ada yang mengajak nonton bareng film berkarakter, seperti Laskar Pelangi, dll. Kemudian Menteri Pendidikan juga melaksanakannya melalui lomba cipta lagu untuk anak.
Gagasan-gagasan tersebut memang masuk akal semua dan benar semua. Sepertinya kalau hal itu berhasil dilakukan, maka anak-anak bangsa ini akan menjadi generasi penerus  bangsa yang hebat:  jujur, nasionalismenya tinggi, bertaqwa kepada Tuhan, sehingga negara ini bisa menjadi negara yang sejahtera (makmur).
Namun betapa sedihnya ketika melihat berita-berita di televisi, mereka-mereka yang melakukan korupsi, tindak pidana kejahatan, tindak asusila, mengkonsumsi narkoba ternyata bukanlah anak-anak bangsa yang tidak berilmu, sebaliknya mereka adalah anak-anak bangsa yang paham dengan ajaran agama, anak-anak bangsa yang cerdas dan selama ini ditengarai berperilaku baik, bahkan dikenal sebagai aktivis-aktivis muda, juga ada yang sudah mengecap candradimuka nasionalisme bangsa.
Artinya segala macam pendidikan yang pernah diterima/dilakukan di masa muda, itu menjadi tidak berbekas bahkan menjadi rusak ketika memasuki kehidupan nyata. Dimana di negara ini, anak-anak bangsa dihadapkan pada situasi ketidak-adilan, sebagian orang hidup berfoya-foya sementara yang lain hidup pas-pasan bahkan menderita. Dimana anak-anak bangsa ini dihadapkan pada realita, bahwa di Indonesia kejujuran tidak bisa dipertahankan, dan kemunafikanlah yang justru harus terus dipelihara. Dimana di negara ini, untuk bisa bertahan dalam menghidupi keluarganya, orang sampai tega berbuat kejahatan, untuk bisa menyekolahkan anaknya orang harus korupsi atau mencuri hak milik orang lain, atau harus mau dipermalukan kesana-kemari untuk menyatakan dia orang miskin atau tidak punya struk gaji.                Dengan kata lain, karakter anak-anak bangsa yang semula sudah baik itu bisa berubah menjadi rusak, ketika mereka harus menghadapi realita kehidupan berbangsa dan bernegara yang buruk.
Oleh karena itu, untuk membangun karakter bangsa Indonesia, tidak bisa hanya dengan membangun karakter anak-anak atau pemudanya saja. Tetapi yang paling utama haruslah dengan memperbaiki sistem kehidupan berbangsa dan bernegara ini terlebih dahulu, yang sebenarnya di dalamnya justru lebih banyak diperankan oleh mereka-mereka yang sudah dewasa. Intinya, bangsa ini harus bisa merumuskan sistem berbangsa dan bernegara Indonesia secara benar dan berkeadilan, sehingga semua potensi bangsa merasa dihargai oleh negara. Karena bangsa ini tidak akan bisa maju, kalau tidak didukung oleh kerja maksimal semua pihak.
Sayangnya sampai sekarang, negara belum menyadari akan hal ini, dan terus melakukan diskriminasi terhadap jasa yang telah diberikan oleh anak-anak bangsa. Kalau dahulu di masa orde baru, TNI mendapat posisi terhormat karena dianggap sebagai warga kelas satu.  Sekarang guru, hakim, perpajakan gajinya diistimewakan. Dan realitanya, keistimewaan gaji tersebut tidak membawa perubahan signifikan bagi kehidupan bangsa yang sudah carut- marut, bahkan menambah kecemburuan pihak-pihak yang diabaikan oleh negara.
Jadi upaya membangun karakter bangsa Indonesia haruslah diawali dari membangun sistem ketata-negaraan yang benar dan adil terlebih dahulu, baru yang lainnya. Dengan demikian upaya-upaya yang dilakukan untuk memperbaiki bangsa itu, tidak menjadi sia-sia dan hanya memboroskan anggaran negara saja.


Sabtu, 07 Desember 2013

Pengertian Civil Society

Pengertian Civil Society
By : Jie D. Rahman
 
        Perkembangan yang terjadi didalam masyarakat selalu berkembang dalam perkembangannya ini dipengaruhi juga oleh beberapa aspek seperti halnya dalam bidang budaya, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang saling terikat dan mempengaruhi bagaimana perkembangan masyarakat tersebut . Masyarakat mengerti dan memahami apa yang dibutuhkan oleh negaranya adalah masyarakat yang sangat diharapkan oleh negaranya . Dimana masyarakat tersebut dapat menjaga budayanya, dapat hidup secara mandiri, masyarakat yang didasari oleh kesetaraan dan juga tidak lepas dengan masyarakat yang mampu mempengaruhi kebijakan umum yang ada selaras dengan bagaimana hidup dengan demokrasi. Oleh karena itu makalah ini dibuat untuk memperkenalkan lebih dalam seperti apakah masyarakat sipil atau masyarakat madani dalam kehidupan bernegara sehingga informasi serta pengetahuan tentang civil society ini dapat berkembang lebih cepat dalam masyarakat dengan begitu secara tidak langsung tujuan Negara Indonesia untuk dapat memiliki masyarakat yang aktif dalam proses perkembangan Negara dapat terwujud

Pengertian Civil Society
            Civil Society mungkin masih terdengar asing di kalangan masyarakat Indonesia untuk lebih mudah memahaminya kita dapat menstransfernya dengan bahasa yang lebih ringan Civil Society juga dapat dipahami dengan arti masyarakat madani masyarakat madani adalah masyarakat sipil masyarakat yang tanggap dan juga beradab dan tentunya masyarakat yang memiliki budaya dan dapat menjaga budaya aslinya meskipun terjadi pertukaran budaya yang besar – besaran saat ini. Masyarakat madani adalah suatu konsep yang diambil oleh Indonesia dari Kota Madinah, dimana Kota Madinah ini telah mempunyanyi peradaban yang sudah sangat lama dan baik dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw yang hingga saat ini masih dinilai sebagai peradaban tertinggi. Dahulunya Madinah tersebut bernama asli Yasrib yang berada di wilayah Arab. Madani tersebut berate Kota (city state) sedangkan dalam bahasa Yunani disebut dengan Polis yang artinya juga sama yaitu kota. Civil Society merupakan satu cara untuk memahami relasi antara individu dan negara yang melestarikan kebebasan dan tanggungjawab.
            Pengertian Civil Society menurut Jean L. Kohen dan Andrew Arato (1992) adalah Modern Civil Society is based on egalitarian principle and universal inclusion experience in articulating the political will and in collective decision making is crucial to the reproduction of democracy . Civil Society yang dimakasudkan adalah suatu masyarakat sipil yang didasari oleh kesetaraan dan selain itu juga masyarakat yang mampu mempengaruhi kebijakan umum serta masyarakat yang didasari oleh demokrasi sehingga dapat membentuk masyarakat yang mandiri.
            Civil Society, dua kata tersebut kurang popular di ruang lingkup masyarakat Indonesia jika diubah ke Bahasa Indonesia artinyya adalah masyarakat sipil. Kebanyakan masyarakat pada umumnya mengertekaikan antara kata sipil dengan militer oleh karena itu kata tersebut masih terasa asing di lingkungan masyarakat Indonesia. Berbeda dengan masyarakat madani , meski tidak semua memahami apa arti masyarakat madani tersebut namun sudah tidak asing di telingan masyarakat Indonesia. Namun sebenarnya memang tidak ada perbedaan antara Masyarakat madani , Civil Society dan masyarakat sipil tersebut.
Suatu kondisi kehidupan masyarakat yang tegak diatas prinsip – prinsip egaliterisme-sederajat dan inklusivisme universal. Secara konkret, masyarakat sipil bisa terwujud bebagai organisasi yang berada di luar institusi pemerintah yang mempunyai cukup kekuatan untuk melakukan counter hegemoni yang sudang pasti dapat mempengaruhi kebijakan umum.

Landasan Filosofis Masyarakat Madani
      Di Negara bagian barat sedang menganut suatu faham yaitu faham rasionalitas. Lalu dengan adanya suatu pencerahan bahwa rasionalitas adalah instrument utamanya . Segala sesuatu yang berada di luar rasio atau jangkauan piker manusia dianggap menjadi suatu yang tidak relavan atau yang disebut dengan dikhotomi. Dengan adanya pemikiran yang seperti itu membuat masyarakat cenderung memandang sesuatu hanya berorientasi pada masyarakat modern serta lebih memandang proses sejarah secara tertutup dan menafikkan perlunya elemen diluar rasionalitas yang ada. Akhirnya mucullah suatu ketidakpuasan didalam hati masyarakat lali mereka berusaha untuk me-Recovery (menemukan) dan Recontruction (menyusun).Tetap berpegang teguh pada tradisi , agama, adat yang ada , tetapi tidak menolak sepenuhnya gagasan pencerahan yang tentunya akan membawa kedalam perubahan yang lebih baik .
Meskipun akar pemikiran dari masyarakat madanipada dasarnya dapat diruntut kebelakang zaman Aristoteles namun Ciecerolah yang mulai memperkenalkan penakaian istilah yaitu societas civilis dalam suatu filsafat politik . Societas Civilis yang merujuk pada gambaran mengenai masyarakat yang memiliki tingkat kepatuhan hukum yang tinggi dan dapat di salurkan melauli organisasi – organisasi ataupun lembaga lembaga yang ada sehingga dapat membantu pembentukan kebijakan umum yang akan dibentuk atau yang perlu direvisi untuk kepentingan masyarakat seluruhnya.
Di benua Eropa , masyarakat madani muali diawali dengan menguatnya kekuatan kekuatan politik diluar raja ketika pihak kerajaan membutuhkan upeti yang lebih besar dari kelompok tuan tanah. Perkembangan masyarakat Madani secara besar – besaran mulai sejalan dengan proses formasi social dan perubahan – perubahan politik di Eropa sebagai akibat dari pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan duniawi, yang keduanya waktu itu ikut mendorong tergusurnya rezim – rezim absolut . dan akhirnya Masyarakat borjuis Eropa untuk melepaskan diri dari dominasi Negara. Civil Society secara institusional diartikan Pengelompokan anggota – anggota masyarakat. Sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam suasana dan praktis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya. (Henningsen Democracy : 14)
            2.3 Tujuan dibangunya Civil Society
a. Kemandirian individu sebagai warga negara
Kemandirian individu sebagai warga Negara yang dimaksutkan adalah individu individu yang bisa mengerti akan pentingnya peranan mereka dalam membatu perkembangan bangsa Indonesia . Hal kemandirian ini dapat di implementasikan kepada masyarakat yang taat dan patuh akan hukum serta dapat menyampaikan pendapat pendapatnya secara baik dan terarah untuk membantu pertimbangan kebijakan public yang akan di bentuk ataupun yang perlu di revisi uantuk kepentingan masyarakat luas.
b. Jaminan Hak Asasi Manusia
Sebagaimana yang telah tertulis dalam Undang Undang Dasar Negara Rebublik Indonesia bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan jaminan Hak Asasi Manusia tersebut, hal ini ditujukan agar warga Negara dapat dengan tenang melakukan segala aktivitasnya dan pastinya tidak mengganggu kepentingan orang lain.
c. Kebebasan bicara dan menyatakan pendapat
Civil Society yang memiliki tujuan untuk menjadi masyarakat yang patuh akan hukum dan juga memiliki prinsip demokrasi dan juga dapat mempengaruhi kebijakan umum hal tersebut diperlukan dengan adanya keberanian mengungkapkan pendapat, wadah wadah yang dapat menampung aspirasi atau pendapat masyarakat contonya seperti lembaga ataupun lembaga lembaga kemasyarakatan.
d. Keadilan yang merata
Keadilan merata bagi seluruh warga Negara baik dalam bidang hukum maupun pelayanan masyarkat lainnya .
e. Pembagian sumber daya ekonomi
Pembagian sumber daya ekonomi yang merata sehingga masyarakat dapat hidup lebih mandiri dan tidak selalu tergantung kepada pemerintah saja dan menunggu bantuan bantuan yang di berikan oleh pemerintah.
2.4 Realitas kehidupan civil society di Indonesia
Realitas kehidupan civil society di Indonesia sangatlah menarik ,dimana gerakan-gerakan kemasyarakatan tumbuh dengan subur, mengindikasikan rasa tidak cukup puas masyarakat sipil terhadap peran negara. Lembaga Swadaya Maysarakat (LSM) pun menjamur, yang mana fungsinya sebagai pengimbang negara dan kekuatan untuk memberdayakan masyarakat marginal. Fenomena ini perlu disambut dan dilihat secara positif dalam rangka berlomba-lomba untuk berbuat yang terbaik
            Dari gambar diatas dapat dijelaskan akan selalu ada nya keterkaitan antara Intitusi non-pemerintah , Ormas dan Media massa, Perorangan yang selaku sebagai masyarakat sipil akan mempengaruhi kebijakan kebijakan yang akan dputuskan oleh institusi Negara. Masyarakat sipil reflektif dan mengisyaratkan hingga ada wacana public  bahwa individu dalam yang setara dapat membuat transaksi wacana dan praksis politik (akses kegiatan publik )  ruang publik yang bebas media masa , tempat pertemuan umum , parlemen sekolah , organisasi masyarakat. Untuk dapat mengembangkan masyarakat madani di Indonesia perlu suatu landasan tumpu untuk penguatan Civil Society tersebut yaitu Pancasila, nilai – nilai sila pancasila yang fleksibel dan universal dalam percepatan perubahan sistem ekonomi , social , politik serta tetap berakar pada latar belakang kesejahterahan
       2.5 Strategi Penguatan Civil Society
       Strategi Penguatan Civil Society ini sangat penting karena kesadaran masyarakat akan pentingnya kepatuhan terhadap hukum , hidup mandiri dan berprinsip demokrasi dalam menyampakain pendapatnya dalam suatu wadah yang tepat yang ditujukan kepada kepentingan masarakat seluruhnya . Ada berbagai macam cara atau strategi dalam penguatan civil society  tersebut yaitu :
  1. Melalui Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam proses pembangunan bangsa Indonesia ini , melalui wadah wadah yang tepat seperti ORMAS dan LSM sehingga dapat membantu Institusi Negara dalam perumusan Kebijakan Umum. Wadah Wadah tersebut juga diharapkan mampu menampung semua aspirasi masyarakat Namun pastinya juga diperlukan kesadara pada setiap ORMAS dan LSM bahwa penyampaian kepada Institusi Negara harus dengan Aturan yang berlaku sehingga tidak mengganggu kepentingan masyarakat lain.
  1. Hukum
Penguatan dengan cara hukum yaitu dengan kesadaran masyarakat akan kepatuhannya melaksanakan hukum yang sedang berlaku tersebut.
  1. Gerakan Kultural
       Pemahaman nilai nilai yang terkandung pada Civil Society dapat diperoleh di sekolah, universitas, lembaga – lembaga swadaya masyarakat serta organisasi masyarakat .

Kamis, 05 Desember 2013

Penguatan Partisipasi Kelompok

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK MASYARAKAT 

By : Jie D. Rahman


A. DEFINISI PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pengembangan masyarakat dapat ditinjau dari sisi (a) proses, (b) metode, (c) program, (d) gerakan, (e) sistem, dan (f) bidang studi. Pengembangan Masyarakat (PM) adalah pendekatan yang sangat peduli terhadap pendamping dan pengembangan manusia dengan menggunakan secara efektif baik inisiatif maupun energi lokal dalam rangka memperkembangkan produktivitas dan standar kehidupan menjadi lebih baik. Jadi, Pengembangan Masyarakat adalah kegiatan/aksi sosial yang menempatkan manusia/masyarakat sehingga mereka dapat:
Mengorganisir diri untuk dapat merencanakan dan berkegiatan
Mendefinisikan/merumuskan kebutuhan dan problem individual dan umum
Membentuk kelompok dan perencanaan sendiri sehingga mampu menjawab
kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang ada
Mengoptimalkan kemampuan, inisiatif dan energi yang dimiliki
Menjalin kerjasama dengan kelompok lain
Apa Tujuan Pengembangan Masyarakat?
Membantu masyarakat menemukan cara/jalan untuk mengorganisirkan diri
Mendampingi masyarakat mampu membuat perencanaan (secara teknis dan aksi)
agar masyarakat semakin berkembang dan maju.
Jadi, arah/tujuan PM adalah terbentuknya Organization for Action (FA); maka perlu
diupayakan:
Adanya teknik/kiat/cara yang mempermudah masyarakat melakukan aksi
Berlangsungnya proses demokratisasi
Semakin banyak orang berpartisipasi
Metode sederhana sehingga orang-orang dapat berdiskusi dengan mudah
Bagaimana (caranya) tujuan itu dapat di capai?
Masyarakat harus semakin mampu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan
Masyarakat semakin mampu menentukan prioritas dari kebutuhan dan permasalahannya
Masyarakat semakin mengetahui sumber daya yang memilikinya
Semakin banyak pemimpin dan kader lokal muncul.
Apa Prinsip dan Filosofi Pengembangan Masyarakat ?
Semua kegiatan/aksi harus bercorak bottom up.
Partisipatoris (dan demokratis).
Asistensi (teknik-teknik pemecahan masalah).
Kepemimpinan local.
Akseleratif.
Humanistis.
Bagaimana Memahami Pengembangan Masyarakat ?
Fokus PM ialah komunitas masyarakat dan keluarga.
PM sebagai proses mencermati apa yang (sedang) terjadi dalam masyarakat baik
secara sosiologis maupun psikologis.
PM sebagai metode menekankan teknik-teknik yang dapat dipergunakan.
PM sebagai program berarti fokus perhatian lebih pada keseluruhan kegiatan.
PM sebagai gerakan, artinya terfokus pada kegiatan tertentu yang paling relevan saat
ini (kontekstual).
PM sebagai bidang studi mengarahkan analisis kepada bagaimana memperkembangkan aspek-aspek kemanusiaan.
Mengapa kegiatan Pengembangan Masyarakat itu justru harus bercorak variatif/tidak
sama dari satu tempat ke tempat lain
Variasi dipengaruhi oleh faktor-faktor :
Tidak ada dua komunitas itu sama
Perbedaan cara memakai sesuatu/segala sesuatu
Perbedaan level partisipasi
Kebijakan pemerintah (yang cenderung seragam)
Aras dan praktek demokrasi
Latar belakang pendidikan
Kebutuhan keluarga dan/atau komunitas berbeda-beda
 
B. MENGENAL PRINSIP-PRINSIP PARTISIPATIF DALAM PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
Prinsip-Prinsip Partisipatif
Konsep partisipasi sebagai sebuah pendekatan dalam program pembangunan
masyarakat sebenarnya sudah muncul pada awal tahun 1980-an. Persoalannya adalah
dalam pelaksanannya terjadi penyimpangan makna. Partisipasi hanya digunakan sebagai
label terhadap peran serta masyarakat, tanpa menyentuh pada substansi peran serta itu
sendiri. Peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan misalnya, cukup
hanya dilihat pada kehadiran dan persetujuan atas segala keputusan yang telah ditentukan
sebelumnya. Peran serta dalam proses politik, cukup berupa kampanye dan pemungutan
suara.
Apa Sebenarnya Pengertian Partisipasi Itu?
Beberapa ahli mendefinisikan partisipasi sebagai berikut:
“Partisipasi adalah gerakan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan,
dalam pelaksanaan kegiatan, ikut menikmati hasil dari kegiatan tersebut, dan ikut serta
dalam mengevaluasinya. “(Upholf, 1992).
“Partisipasi adalah suatu proses di mana berbagai pelaku (stakeholders) dapat
mempengaruhi serta membagi wewenang dalam menentukan inisiatif-inisiatif pembangunan,
keputusan serta pengalokasian berbagai sumber daya yang berpengaruh terhadap mereka.
“(Bank dunia, 1994).
Pengembangan Masyarakat menggunakan pendekatan partisipatif, mengingat
beberapa manfaat dalam program berupa: efisien, efektif, menjalin kemitraan,
memberdayakan kapasitas, memperluas ruang lingkup, meningkatkan ketepatan kelompok
sasaran, berkelanjutan, memberdayakan kelompok marjinal dan meningkatkan akuntabilitas.
Meskipun disadari bahwa dengan pendekatan ini, membutuhkan biaya yang besar dan
lambatnya proses pengambilan keputusan.
Pertama, partisipasi akan mendukung keberhasilan dari pelaksana program yang
didampingi. Kedua, memperoleh legitimasi dari masyarakat. Untuk itu, kemauan politik
(political will) dari pemerintah daerah sangat diperlukan. Dalam pelaksanaannya, proses
partisipatif seharusnya dimulai sejak identifikasi & analisis stakholders, konsultasi tingkat
daerah, penyusunan program pembangunan (strategi program, program investasi, program
pembiayaan, dan program pengembangan kelembagaan), penguatan forum NGOs dalam
pengawalan aspirasi masyarakat dalam perencanaan, hingga monitoring dan evaluasi.
Melalui rangkaian panjang tersebut di atas, proses dan mekanisme perencanaan
partisipatif diharapkan selalu muncul dalam setiap penggalian aspirasi & kebutuhan,
konsultasi, penyepakatan, dan pengambilan keputusan. Aktor-aktor yang terlibat meliputi
masyarakat, pemerintah daerah, dan unsur-unsur lain yang terlibat dalam kegiatan
pengembangan masyarakat, dimana program/proyek dilaksanakan.
Keuntungan-keuntungan partisipasi antara lain :
a. Mampu merangsang timbulnya swadaya masyarakat, yang merupakan dukungan
penting bagi pembangunan.
b. Mampu meningkatkan motivasi dan ketrampilan masyarakat dalam membangun.
c. Pelaksanaan pembangunan, semakin sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat.
d. Jangkauan pembangunan menjadi lebih luas, meskipun dengan dana yang terbatas.
e. Tidak menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah dan pihak lain.
Prinsip-prinsip yang dipaparkan di atas adalah basis untuk mengembangkan pendekatan
dan strategi yang partisipatif sesuai dengan kondisi lokalitas dan komunitas. Dengan kata
lain, prinsip-prinsip dalam pedoman buku ini bukan “Petunjuk Pelaksanaan” tetapi suatu
landasan berfikir untuk mengembangkan kreatifitas semua stakeholders dalam upaya
mengembangkan partisipasi dan aspirasi masyarakat.


Pengembangan Partisipasi dan Aspirasi Masyarakat Berbasis Komunitas dan Lokalitas
Konsep “komunitas” mengandung makna adanya “keterkaitan” yang tidak hanya
secara ekologis dan ekonomis, tetapi juga secara sosiologis. Terutama pada tingkat
pengambilan keputusan, upaya pengembangan masyarakat akan menciptakan beragam
“keterkaitan” yang berhubungan secara fungsional karena dipandang sebagai suatu sistem
kelembagaan lokal yang berpengaruh terhadap kehidupan komunitas. Tingkat lokalitas
dicirikan oleh kesatuan komunitas yang memiliki relasi sosial dan ekonomi, dengan pusat
interaksi sebagai pusat pertumbuhan. Tingkat kelompok, sebagai kesatuan masyarakat yang
mengidentifikasi diri berdasarkan karakteristik tertentu, seperti lingkup pekerjaan,
kekerabatan, jender dan sebagainya. Sedangkan lingkup organisasi yang lebih kecil adalah
rumah tangga. Organisasi ini tunduk pada pengaruh dari ketiga tingkat operasional di
atasnya. Lebih dari itu, beragam keterkaitan tersebut merupakan representasi dari “hubungan
kelembagaan” antar seluruh stakeholders dalam suatu kawasan tertentu.
Dalam konteks ini, konsep lokalitas” mengandung pengetian pertama “ikatan sosial”
yang berlandaskan teritorial dimana masyarakat di kawasan tersebut hidup dalam suatu
lokalitas tertentu dengan eksistensi yang jelas; kedua “ikatan sosial” berdasarkan lingkup
pekerjaan (profesi) dimana hubungan antar anggotanya tidak permanen, tetapi mempunyai
intensitas interaksi yang tinggi dalam suatu waktu tertentu; ketiga “ikatan sosial” yang
dibangun berdasarkan jaringan sosial (social networking) sebagai nilai tambah dari modal
sosial (social capital) dengan satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat. Dengan
demikian, secara sosiologis upaya pengembangan masyarakat perlu “didekati” dengan
pengembangan berbasis lokal yang menjalin “ikatan sosial” antara tingkat kelompok,
komunitas dan lokalitas.
Dengan demikian, pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat relevan
dilakukan dengan pendekatan “pengembangan masyarakat” (“masyarakat” dipahami sebagai
masyarakat di tingkat komunitas dan lokalitas serta hubungan diantaranya). Oleh karena itu,
istilah pengembangan masyarakat memiliki ruang lingkup yang relatif luas. Conyer
mengajukan tiga komponen pendekatan pengembangan masyarakat. Pertama, adanya
penekanan yang diarahkan pada fungsi kemandirian, termasuk sumber-sumber dan tenaga
setempat serta kemampuan manajemen lokal. Kedua, penekanan pada penyatuan
masyarakat sebagai suatu kesatuan; terlihat dari adanya pembentukan organisasi-organisasi
lokal termasuk di dalamnya lembaga-lembaga yang bertanggung jawab masalah administrasi
atau suatu bentuk lembaga masyarakat. Ketiga, keyakinan umum mengenai situasi dan arah
perubahan sosial serta masalah-masalah yang ditimbulkannya. Aspek khusus dalam
perubahan sosial yang menjadi pemikiran pokok berbagai program pembangunan
masyarakat, yaitu adanya ketimpangan baik di dalam maupun di antara komunitas-komunitas
tersebut.
Organisasi-organisasi pengembangan masyarakat (lokal dan pendatang) disertakan
dalam usaha-usaha kelompok-kelompok akar rumput (grassroots) untuk merevitalisasi
kelompok masyarakat ketetanggaan yang berpendapatan rendah dan menengah melalui
pembangunan perumahan, simulasi ekonomi, pelatihan dan konsultasi kerja. Semakin lama,
usaha-usaha ini terjadi dalam bentuk kerjasama antara beragam stakeholders dan
pemerintah lokal.
Melalui pendekatan dan strategi “pengembangan masyarakat”, diharapkan
pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung secara dinamis sesuai dengan kondisi sosio
budaya, politik dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat
terentang dari upaya perjuangan yang lebih luas untuk memperoleh kebebasan sampai
dengan memperoleh kesempatan mengembangkan diri. Dengan demikian pemberdayaan
masyarakat tidak saja berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan dasar, pengembangan
sumber daya manusia, atau perubahan kerangka institusi, tetapi juga berkaitan dengan
pengembangan kapasitas masyarakat untuk melepaskan diri dari perbedaan-perbedaan
rasial ketidak-seimbangan kelas dan jender, dan menghapuskan penindasan mayoritas.
Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat menyangkut berbagai pendekatan “manusiawi”
untuk mencapai sasaran program pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat.
Artinya, standar-standar hidup layak, tetapi dengan cara-cara yang “pantas” dilihat dari
perspektif peningkatan kapasitas masyarakat.
Membangun dan Mengembangkan Jejaring Sosial sebagai Wahana Pengembangan
Partisipasi dan Aspirasi Masyarakat
Dalam konteks pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat, pengembangan
jejaring perlu dilandasi pada pemahaman terhadap sistem relasi antar stakeholders yang
berbasis komunitas dan lokalitas. Dalam hal ini asumsinya adalah stakeholder memiliki
konsep/pemahaman yang sama mengenai pengembangan jejaring. Dengan kata lain, perlu
dibangun pemahaman bersama diantara stakeholder mengenai jejaring sosial.
Untuk pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat, perguruan tinggi, LSM,
dan stakeholders yang lain dapat berperan serta melalui pendekatan jejaring pengembangan
kelompok-kelompok usaha produktif dengan mensinergikan fungsi-fungsi dari berbagai
stakeholders sebagai suatu bentuk pengembangan modal sosial (social capital). Disamping
itu, pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif karena sampai sejauh ini pengembangan
tersebut memerlukan transaction cost yang tinggi.
Salah satu alternatif adalah pengembangan jejaring tersebut dengan pendekatan
jejaring kelembagaan kolaboratif mulai dari tingkat komunitas sampai dengan tingkat
lokalitas. Implementasi prinsip-prinsip kesetaraan, lebih bersifat informal, partisipasif, adanya
komitmen yang kuat, dan mensinergikan kekuatan-kekuatan yang ada sangat membantu
memecahkan permasalahan dan menemukan solusi dalam upaya pengembangan usahausaha
ekonomi produktif di pedesaan.
Pengembangan partisipasi dan aspirasi melalui kegiatan usaha-usaha produktif yang
berbasiskan kepada komunitas dan lokalitas diharapkan dapat melibatkan stakeholders yang
lain (kelembagaan kolaboratif), seperti organisasi pemerintah. Keberhasilan jejaring sebagai
media untuk perumusan policy menjadi sangat penting tetapi ini semua tergantung kepada
komitmen semua stakeholders dalam jejaring tersebut.
Terdapat beragam institusi di pedesaan. Meskipun sangat sedikit jumlah yang
bergerak dalam usaha-usaha produktif yang berbasis pada komunitas dan telah melembaga,
(baik disektor pertanian maupun non pertanian). Jejaring kelembagaan kolaboratif yang akan
dikembangkan harus mampu menjalin hubungan berdasarkan prinsip kesetaraan di antara
institusi-institusi tersebut. Oleh karena itu, sistem jejaring yang terbentuk perlu
mempertimbangkan mekanisme yang ada pada sistem tradisional, karena mereka yang akan
menyaring penduduk yang ingin masuk dan dia yang akan menghambat pasar untuk
dihapus, sehingga masyarakat tidak mengalami kesengsaraan. Hal-hal demikian perlu diingat
dalam membangun jejaring yang ada.
Dalam hal pendanaan kegiatan produktif di kawasan transmigrasi, peranan
pemerintah lokal lebih bersifat sebagai fasilitator bukan hanya sebagai donatur. Pemerintah
lokal perlu mengalokasikan dana untuk masyarakat lapisan bawah atau pengusaha kecil di
kawasan ini. Dalam hal ini penguatan kelembagaan merupakan hal penting dalam
pemberdayaan masyarakat. Untuk itu harus ada kesepakatan, bahwa dimulai dengan
penguatan kelembagaan dan alokasi dana. LSM yang bergiat dalam pemberdayaan
masyarakat bisa melengkapi kegiatan usaha-usaha produktif di pedesaan.
Apabila dilandasi dengan respon yang baik serta prinsip-prinsip partisipatoris maka
hasil pemikiran stakeholders di tingkat lokal atau nasional perlu dikembalikan pada jejaringan
di tingkat komunitas dan lokal, sehingga rumusan-rumusan dari jejaring ini perlu mendapat
tanggapan dari seluruh masyarakat di pedesaan. Jaringan informasi berbasis komunitas
tersebut tidak harus diformalkan.
Peranan Pemerintah Lokal sebagai Fasilitator dalam Pengembangan Partisipasi dan
Aspirasi Masyarakat
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendampingan merupakan bagian
integrasi dari proses membangun dan memberdayakan masyarakat. Oleh karen itu, seorang
pendamping atau Fasilitator atau Community Organizer (CO) tidak sekedar dituntut untuk
menguasai teknik tertentu untuk memfasilitasi, tetapi juga harus mampu membangun
kemampuan stakeholder lainnya mengenali konteks program secara keseluruhan. Aksi-aksi
bersama stakeholder lainnya harus didasarkan pada pemahaman yang sama tentang visi ke
depan dari suatu program dan dengan demikian mereka dapat membangun struktur
hubungan yang diperlukan dalam rangka mencapai hasil yang dikehendaki.
Fasilitator dan CO adalah bagian integral dari pemberdayaan dan pengembangan
masyarakat dan fasilitator mengemban misi kemanusiaan. Fasilitator pada hakekatnya
menempatkan diri sejajar dengan pihak lain, sebagai landasan adanya kepercayaan. Oleh
karena dasarnya adalah moral, maka konteks pendampingan tidak terbatas pada subtansi
program dimana seseorang ditugaskan. Bahkan program itu sendiri merupakan sarana untuk
berempati. Fasilitator hendaknya berempati dalam segenap kebutuhan yang melingkupi
“mitra kerja”. Dengan demikian, fasilitator adalah orang yang mempunyai pengalaman dan
mengabdikan diri untuk suatu pekerjaan khusus dan purna waktu berdasarkan pengetahuan
yang diperlukan.
Dengan pemahaman bersama mengenai sistem relasi antar stakeholders tersebut
maka lingkup profesionalisme fasilitator perlu dilakukan. Pertanyaannya adalah, sub sistem
manakah dari sistem relasi di pedesaan akan difasilitasi oleh fasilitator? Ini berkenaan
dengan kebutuhan memfasilitasi. Kedua sub-sistem relasi dan kebutuhan memfasilitasi akan
bersilangan dengan pilihan pendekatan pendampingan yang akan dilakukan yakni (1)
pendekatan menolong diri sendiri (self help) (2) pendekatan pemenuhan kebutuhan itu (3)
pendekatan konflik.
(1) Pendekatan Pertama adalah menolong diri sendiri
Masyarakat di pedesaan menjadi partisipan yang berarti dalam proses pembangunan
dan melakukan kontrol dalam kegiatan pengembangan. Pendamping menjadi
fasilitator. Sedangkan komunitas (petani) memegang tanggungjawab utama dalam :
(1) memutuskan apa yang menjadi kebutuhannya (2) bagaimana memenuhi
kebutuhan itu (3) mengerjakannya sendiri.
(2) Pendekatan Kedua adalah pendampingan teknik:
Yang mendasarkan pada perkiraan kebutuhan oleh para perencana yang dapat
mengantarkan dan mengevaluasi proses pengembangan masyarakat. Perencana
seolah-olah ditugasi oleh masyarakat setempat untuk mengembangkan sikap
rasionalitas mereka. Pengembangan masyarakat dari perspektif ini bersifat spesifik
mencakup pengembangan teknik pengelolaan jejaring sosial.
(3) Pendekatan Ketiga adalah pendekatan konflik:
Pendekatan ini menekankan pada usaha-usaha untuk menyadarkan masyarakat di
pedesaan bahwa apa yang baik dilakukan oleh orang lain adalah baik juga untuk
dilakukannya. Oleh karena itu anggota komunitas akan berusaha untuk berbuat yang
sama dengan referensi grupnya. Dalam konteks pengembangan partisipasi dan
aspirasi masyarakat, maka pendampingan dilakukan dengan teknik propaganda
sedemikian rupa sehingga warga desa menyadari apa yang menjadi
ketertinggalannya dengan warga lain.
Adanya kemampuan diri sendiri dan berfungsinya pendampingan akan
mengefektifkan pendekatan ketiga, yakni pendekatan konflik dalam pengertian
memacu persaingan yang sehat pada setiap organisasi warga desa. Salah satu
bentuk persaingan itu misalnya dalam satu kelompok masyarakat, berwujud bantuan
dana pendampingan sebesar jumlah dana yang telah dimiliki oleh sekelompok, atau
membantu membiayai penuh setengah dari luas lahan yang digarapnya, yang
diharapkan berdampak pada penggunaan dana sendiri (swadana) bagi lahan sisa.
Dengan kata lain, bantuan dalam bentuk sarana berorganisasi atau sarana produksi
atau sumbangan dalam bentuk natura lainnya yang menunjang kinerja kelompok yang
telah menunjukkan kemajuan awal.
Strategi konflik yang lain yang dapat dipakai adalah menjelaskan standar-standar
yang harus dicapai oleh anggota komunitas untuk mencapai kebutuhan normatif, dan
mengajak komunitas untuk secara bersama-sama mencari jalan keluar untuk
mencapai standar normatif itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka memfasilitasi merupakan bagian dari suatu proses
pendampingan. Istilah memfasilitasi mencakup mengantarkan warga desa ke dalam pola
perilaku pertanian modern, serta memberikan pelayanan teknis maupun material, yang
secara ekologis melaksanakan prinsip-prinsip sustainability. Tindakan fasilitasi yang
diberikan merupakan hasil dari proses pendampingan yang langsung dalam jangka waktu
yang relatif lama dan kontinyu. Atas dasar kegiatan pendampingan dalam kurun waktu
tertentu itu maka pendamping dapat memilah-milah mana yang menjadi prioritas untuk
difasilitasi, pilihan pendekatan dan pilihan teknik pengembangan partisipasi dan aspirasi
masyarakat di kawasan tersebut.
Kebutuhan yang paling mendasar dalam pendampingan adalah meletakkan konteks
pendamping. Oleh karena dalam beberapa aspek bukanlah hal baru bagi stakeholders, maka
intensitas pendampingan akan berbeda untuk setiap jenis kegiatan dalam upaya
pengembangan partisipasi dan aspirasi masyarakat di kawasan tersebut. Peranan
pendamping yang tak kalah pentingnya adalah memfasilitasi berbagai stakeholders, baik
yang dapat dikategorikan ke dalam public sector, private sector, maupun collective action
sector. Misalnya, sampai sejauh mana dan bagaimana peranan pendamping dalam
"menjembatani" berbagai stakeholders yang seharusnya mampu menciptakan
'keseimbangan dinamis" antara community based development dan local government
policies dalam rangka mendukung upaya pengembangan komoditas unggulan lokal.