jakarta - Budayawan Emha Ainun Nadjib berada di pusaran
arus perubahan kekuasaan 1998. Dia adalah salah satu tokoh yang dengan
lantang meminta Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.
Tapi reformasi yang terjadi sampai saat ini, kata dia, palsu belaka.
Mengapa?
Berikut wawancara Emha Ainun Nadjib pada Detik
pekan lalu:
Anda termasuk tokoh yang diundang Presiden
Soeharto pada 19 Mei 1998. Bisa diceritakan keinginan Soeharto saat itu
kepada para tokoh?
Pak Soeharto tidak pernah mengundang
sembilan orang, termasuk saya, untuk bertemu pada 19 Mei 1998. Kami
berlima (Cak Nurcholish Madjid, Malik Fadjar, Utomo Dananjaya, S. Drajat
dan Cak Nun) mengirim surat kepada Pak Harto pada 16 Mei 1998, yang
isinya menyatakan sebaiknya beliau turun dari jabatannya, dan kami
menawarkan satu dari empat cara.
Pada 17 Mei malam, sesudah
salat isya, Pak Harto menelepon Cak Nur. Kemudian Cak Nur meneruskan
hasilnya kepada kami berempat. Pak Harto menyetujui isi surat itu untuk
melepaskan jabatan. Tapi minta tolong ditemani selama proses peralihan
kekuasaan serta bersama-sama menjaga agar situasi aman dan tidak semakin
terancam oleh anarkisme, penjarahan, dan lain-lain.
Maka
disepakati untuk bertemu dengan lima orang yang menandatangani surat itu
pada 19 Mei pukul 09.00 WIB. Pak Harto mengusulkan bagaimana kalau
beberapa orang tua juga dilibatkan. Akhirnya, dari lima orang menjadi
sembilan orang, termasuk KH Ali Yafie dan Gus Dur.
Saat
pertemuan itu, apakah Soeharto sudah memperlihatkan tanda-tanda memang
akan mundur atau masih berkeras tetap bertahan?
Pertemuan
sembilan orang dengan Pak Harto pada 19 Mei 1998 itu basa-basi. Ibarat
pengantin, itu sekadar resepsinya, sedangkan akadnya sudah duluan.
Tanggal 18 malamnya, Pak Harto ambil keputusan mau lengser.
Kami
ngobrol santai saja, tidak ada ketegangan, sehingga 16 bom yang
tersebar di delapan pom bensin dan delapan titik jalan tol yang
mengitari Istana tidak perlu diledakkan. Namun ada “mercon” kecil yang
dipelajari oleh Pak Harto dalam silaturahmi itu adalah pernyataan "tidak
jadi presiden tidak patheken".
Secara pribadi, ada yang penting
bagi saya, yaitu lima menit sebelum pertemuan. Di luar ruangan, Cak Nur
dan saya berjabat tangan untuk saling berjanji, sesudah Pak Harto
turun, kami berdua bersepakat untuk melarang diri terlibat atau menjadi
pejabat.
Masalah yang tersisa adalah tidak tersepakatinya
formula peralihan kekuasaan. Itu yang menjadi salah satu sebab kenapa
akhirnya reformasi 1998 itu bukan hanya gagal dan omong kosong, tapi
juga palsu, bergelimang kemunafikan yang sangat menjijikkan.
Jauh
lebih susah mengurusi seorang munafik reformasi dibanding 100 orang
kafir Orde Baru. Sebab, karakter kemunafikan mengizinkan putih adalah
merah, merah adalah hijau, hijau adalah biru, biru adalah cokelat,
demikian seterusnya tanpa batas.
Kalau disebut sesuatu yang
istimewa, mungkin ada. Bahwa Presiden Soeharto yang menurut pengetahuan
dunia diseret turun, dengan dosa-dosa nasionalnya yang menggunung,
mestinya lari ke luar negeri dan minta suaka, kemudian kelak meninggal
di pengasingan dan dikubur di tanah kutukan seluruh rakyat Indonesia.
Tapi
Soeharto hidup tenteram di Cendana, menyirami kembang, memomong
cucu-cucunya yang berkunjung, merokok klobot dan terus tersenyum kepada
langit dan bumi. Tidak ada demo kaum aktivis ke Cendana, dan
warisan-warisannya yang terkutuk, misalnya TMII dan 5.000 masjid Amal
Bakti Pancasila, tidak dibakar, diambrukkan, atau dimusnahkan.
Bagaimana
formula peralihan kekuasaan yang sebenarnya?
Bersama
Cak Nur (almarhum), kami merumuskan bahwa reformasi adalah pergantian
kekuasaan total. Pak Harto turun dengan seluruh jajaran kabinetnya. MPR
dan DPR bubar, kemudian kita bentuk Komite Reformasi, terdiri atas 45
tokoh reformis. Komite Reformasi itu akan secara darurat menjadi MPR
sementara, yang bertugas mengangkat kepala negara sementara dan
menugasinya untuk membikin pemilu paling lambat setahun sesudah Pak
Harto lengser.
Di antara 45 anggota Komite Reformasi itu ada
tiga tokoh Orba: Akbar Tandjung, Jenderal Wiranto, dan Pak Harto
sendiri, yang berseberangan melawan 42 orang. Butuh waktu cukup lama
bagi bangsa Indonesia untuk menyadari bahwa ternyata Akbar Tandjung dan
Wiranto sesungguhnya adalah tokoh reformasi, dan mungkin akan tampil
jadi calon presiden 2014.